Shen Weisheng tiba di Paviliun Laut Bersih milik orang tuanya dengan langkah terburu-buru dan ekspresi marah. Ia langsung membuat kekacauan, berteriak kepada para pelayan dan anggota keluarga yang ada di sana.
"Apa-apaan ini? Istriku meninggalkanku!" teriak Shen Weisheng dengan nada penuh kemarahan dan frustrasi.
Nyonya Shen, yang mendengar keributan dari dalam kamar, segera keluar untuk menanyakan penyebabnya. Melihat putranya dalam keadaan marah, ia merasa bingung dan cemas. "Apa yang kau katakan, Shen Weisheng? Lin Mingzhe hanya sedang berlibur di rumah orang tuanya setelah mendapat izin dari Ayahmu. Dia tidak meninggalkanmu!"
Shen Weisheng, yang semakin tertekan, menjawab dengan nada yang penuh ketidakberdayaan. "Aku dipaksa oleh Putra Mahkota untuk membantai suku pemberontak! Aku harus pergi tanpa izin dan meninggalkan Lin Mingzhe di rumah, dan sekarang aku dicap sebagai suami yang tidak bertanggung jawab."
Nyonya Shen memandang anaknya dengan campur aduk antara kekhawatiran dan kemarahan. "Selama ini kau ke mana saja? Mengapa kau tidak memberi kabar atau menjelaskan situasimu? Kau telah meninggalkan istrimu dan membuat keributan di luar sini!"
Shen Weisheng menunduk, merasa berat hati. "Aku tahu ini semua adalah jebakan. Putra Mahkota berusaha membuatku terlihat buruk dengan meninggalkan istri dan berpotensi menghancurkan reputasi keluarga kita."
Nyonya Shen menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. "Putra Mahkota memang seringkali menggunakan cara-cara licik untuk mencapai tujuannya. Tapi, kau tetap harus memastikan bahwa urusan rumah tangga tidak terabaikan. Lin Mingzhe adalah anggota keluarga kita, dan kita harus menghormati keputusan dan kondisi keluarganya."
Shen Weisheng mengangguk, menyadari kesalahannya. "Aku akan memperbaiki keadaan ini dengan menjemputnya dirumah orangtuanya dan berbicara dengan Lin Mingzhe. Aku akan memastikan semua ini tidak akan merusak hubungan kita."
Setelah mendapatkan izin dari Nyonya Shen untuk menjemput Lin Mingzhe, Shen Weisheng mempersiapkan perjalanan dengan penuh keseriusan. Ia memutuskan untuk menaiki kereta kuda yang dipenuhi dengan berbagai hadiah mewah untuk keluarga Lin, sebagai bentuk permohonan maaf atas ketidakhadirannya selama ini. Rasa bersalah yang mendalam membuatnya semakin bertekad untuk menyelesaikan urusan ini secepat mungkin.
Shen Weisheng berdiri di samping kereta, memberi instruksi kepada pelayannya sambil memandang kuda perang kesayangannya, Xiao Mu, yang berdiri tegap di samping kereta. "Xiao Mu, tolong jangan berulah ya. Kita akan menjemput ibu mu. Kita harus sampai dengan selamat dan cepat."
Kuda perang itu mengeluarkan suara rendah sebagai balasan, tampak seolah mengerti betapa pentingnya perjalanan ini bagi majikannya. Shen Weisheng mengatur posisi duduk di kereta, memastikan semua hadiah tersusun rapi dan siap untuk diberikan kepada keluarga Lin.
Perjalanan dimulai dengan penuh semangat. Shen Weisheng, yang biasanya dikenal dengan sifatnya yang perfeksionis dan serius, kali ini menunjukkan dedikasi dan tekadnya untuk memperbaiki kesalahan dan memastikan segalanya berjalan lancar.
"Mari kita cepat sampai ke rumah mertuaku," ujar Shen Weisheng dengan tekad di suaranya, mengarahkan kereta menuju rumah Lin Mingzhe. Rasa bersalah dan kekhawatiran yang melanda pikirannya membuatnya terus-menerus mendorong kuda-kudanya, memastikan perjalanan tetap cepat dan tanpa hambatan.
Di sepanjang perjalanan, Shen Weisheng tak pernah berhenti mengingat kembali kata-kata ibunya dan keputusan untuk memperbaiki keadaan. Ia juga terus memikirkan bagaimana ia akan menghadapi Lin Mingzhe, dan berharap agar istrinya mau menerima permohonan maafnya.
Setelah melewati berbagai medan, kereta akhirnya mendekati rumah keluarga Lin. Shen Weisheng bisa melihat kediaman keluarga Lin dari kejauhan, dan rasa lega serta harapan untuk perbaikan hubungan mengisi hatinya. Ia memerintahkan keretanya untuk berhenti di depan rumah, dan siap untuk bertemu dengan keluarga mertuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Api Yang Terasa Hangat
FantasyORIGINAL STORY! Lin Mingzhe menghadiri pesta lajang salah satu teman sekolahnya dan mabuk bersama. Cawan pertama membasahkan tekak dan bibirnya, Cawan kedua lantas meluputkan ingatannya, dan Cawan ketiga membuat jiwanya terbang ke masa kekaisaran. ...