~ 3 ~

4 0 0
                                    

Arya berjalan masuk kedalam rumahnya. Sepi, seperti tak berpenghuni sama sekali. Diliriknya jam yang berada ditangannya itu, sudah pukul tujuh pagi itu artinya kedua adiknya sudah pergi ke sekolah. Saat ia hendak melangkahkan kakinya menuju anak tangga untuk ke kamarnya, tiba-tiba saja suara dari wanita paruh baya menghentikan langkahnya. " Den Arya sudah pulang?" tanya nya dengan sopan.

Arya membalikkan tubuhnya menghadap kearah wanita paruh baya dengan rambut yang disanggulnya.

" Iya bi," jawab Arya.

" Mau bibi buatkan sarapan?"

" Gak usah, aku udah sarapan tadi diluar."

" Ya sudah, kalau gitu bibi ke belakang dulu mau menyelesaikan pekerjaan bibi," pamitnya.

" Bi tunggu sebentar." Arya menghentikan Bi Inah yang akan menuju kebelakang, dengan cepat ia  pun bertanya kepada Bi Inah, " Sarah sama Nara sudah berangkat ke sekolah?" tanyanya memastikan apakah kedua adiknya sudah berangkat sekolah atau belum.

" Kalau non Sarah sudah berangkat dari tadi, sedangkan non Nara–"

Bi Inah menghentikan perkataannya seakan ragu untuk melanjutkannya.

" Kenapa sama Nara?"

" Itu den, semalam nyonya ngurung non Nara keruangan hukuman, sampai sekarang belum diizinin sama nyonya buat keluar," jelas Bi Inah pada Arya apa yang terjadi semalam pada Nara.

Arya yang mendengar itu pun membulatkan matanya tak percaya. Tanpa basa-basi lagi, ia pun berjalan cepat menuju kamar Sinta dengan raut wajah yang sudah memerah menahan amarah.

Sesampainya didepan pintu kamarnya Sinta sang ibu, Arya langsung saja membuka pintu itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu membuat Sinta yang sedang duduk ditepi kasurnya terperanjat kaget akan kedatangan anak sulungnya itu.

" Arya! Dimana sopan santun kamu. Ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar orang lain, apalagi ini kamar orang tua kamu!" tegur Sinta dengan sedikit emosi.

Arya tak menjawab, ia malah mendekatkan langkah kakinya tepat didepan Sinta. Dengan raut wajah yang masih merah menahan emosinya ia pun berkata, " Berikan kuncinya ke aku!"

" Kunci apa maksud kamu?"

" Kunci ruangan dimana mama mengurung Nara!"

" Yang sopan kamu kalau bicara sama orang tua, apalagi kamu sekarang sedang bicara sama mama kamu sendiri," tegur Sinta pada putra sulungnya itu.

Seakan menulikan telinganya, Arya malah semakin meninggikan suaranya. " Ma, sudah berapa kali Arya bilang sama mama, jangan pernah mama nyakitin Nara kalau mama gak mau ngelihat aku bicara kasar sama mama."

" Sadar Arya, dia itu bukan adik kamu! Dia cuma anak haram yang dibawa papa kamu kerumah ini!! DIA ANAK DARI WANITA YANG SUDAH MERUSAK KEBAHAGIAAN KITA, ARYA!!"

" NARA BUKAN ANAK HARAM, DIA ADIK AKU!!"

Sinta membulatkan matanya tak percaya. Anak yang selama ini ia sayangi berani meninggikan suaranya padanya. Sinta terduduk ditepi kasurnya sambil memegangi dadanya yang terasa begitu perih. Airmatanya keluar mengalir membasahi kedua pipinya.

" Ka–kamu...bentak mama..." ujar Sinta yang tak kuasa menahan tangisnya.

Arya yang melihat itupun kemudian membuang napasnya perlahan. Seketika ia pun berlutut didepan Sinta sambil memegang kedua telapak tangan sang mama. " Maafin Arya, ma... Arya gak bermaksud bentak mama seperti tadi," katanya dengan menunduk menahan tangis.

SUNSHINE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang