1

20 3 0
                                    

Malam itu purnama terang menggantung di langit. Malam paripurna ketika gelombang laut pasang mencapai puncaknya. Dari atap gedung SMA Jalesviva Jayamahe, aku bisa melihat hamparan laut tak berujung di cakrawala. Sebuah pemandangan eksklusif tentu saja, siswa dan siswi biasa mana mungkin diberi akses ke atap seperti ini, apalagi di tengah malam. Tapi sekarang adalah malam yang istimewa dan aku sebagai pengurus OSIS generasi baru, wajib turut serta.

Meski aku harus ngantuk setengah gila.

Untuk kesekian kali, kepalaku menggantung dengan lelah di pagar besi beranda.

Cih, aku pun tak henti mendecih untuk kesekian kali.

Kenapa harus malam ini? Kenapa ketika aku baru saja menyelesaikan begadangku semalam, acara malam inaugurasi anak kelas X yang baru justru diadakan? Kenapa tidak kemarin? Lusa? Atau sekalian minggu depan?

Sambil mengeluh dan bertanya-tanya dalam hati, aku hanya bisa meratapi nasib. Jam pintar yang menyala di tanganku memberitahu semenit lagi alarm akan berbunyi. Acara malam inaugurasi akan segera dimulai.

"Aku yakin kamu pasti ada di sini, benar ternyata dugaanku."

Aku menoleh, tak kaget sama sekali saat ketua OSIS-ku, Risma, datang menghampiri. Dia selalu tahu. Dia selalu bisa menemukanku. Seperti halnya semua pengurus OSIS yang lain. Ketua kami yang baru dilantik, tapi sudah sangat bisa diandalkan.

"Maaf, ya, Ketua, aku malah membolos di hari pertama penugasan," ujarku beralasan.

"Waktu masih ada semenit, kau belum melakukan kesalahan, jadi aku belum lihat kebutuhanmu untuk minta maaf, Mira."

Aku tertawa menyambut kemakluman itu. Semenit, katanya. Aku hanya punya waktu satu menit dan waktu itu semakin mundur. Tidak salah lagi.

"Ya, ya, aku paham pesanmu, Ibu Ketua." Aku segera menarik diri dari pagar beranda yang dingin dan nyaman. "Aku akan ke aula besar sekarang, menemani anak-anak baru itu di malam inaugurasi pertama mereka."

Ketika aku melangkah dan berbalik, Risma masih sempat berpesan kepadaku:

"Langsung ke aula, ya," ujarnya. "Jangan main ke mana-mana."

Aku hanya bisa menghormat dan melambai pergi dan berlalu. Meski tak benar-benar menoleh mengucapkan salam perpisahan, setidaknya aku mengingat pesan itu. Jangan ke mana-mana. Jangan kelayaban. Langsung ke aula. Urusi inaugurasi adik-adik kelas angkatan baru dan fuala, kau akan sampai di kasurmu dengan nyaman dan selamat, Mira Santika!

***

Seandainya memang semudah itu.

Tanpa aku sadari, sekali lagi aku malah nyasar ke lorong lain yang bahkan tidak aku kenal. Aku hanya bisa tertawa ceroboh ketika sadar, lorong yang aku jelajahi malah membawaku ke ruang kelas XII Tekno 2. Bukan ruangan yang aku tuju, jelas, dan ruangan ini seharusnya berada di sayap barat; lokasi yang benar-benar bertolak belakang dengan lokasi yang aku tuju di tengah bangunan utama.

Aku pun segera berdiam di lorong itu dan mengosongkan pikiran, fokus hanya kepada tempat yang aku ingin tuju; gedung utama.

Oke, Mira, fokus, fokus. Kamu pasti bisa. Hanya perlu sedikit ketenangan pikiran dan—

Sebuah nyanyian bergema di angkasa.

Dan fokusku seketika teralihkan.

***

"Kau harus memathui tiga aturan ini jika kau ingin selamat di dunia luar sana, Mira."

Di tengah ruang keluarga, di bawah temaram lampu bercahaya jingga yang disetel ibu untuk menemani kami saat akan tidur, aku dan adik-adikku mendengarkan dengn seksama. Di balik selimut dan kamar yang dinaungi pendingin udara, kami bertiga bergumul di satu kasur yang sama, saling berbagi kehangatan sementara Ibu duduk di kursi kecil di seberang kasur, menemani kami dengan sebuah buku cerita terbuka.

SPLASHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang