01

35 3 0
                                    

Bagasfora menyingsing dari ufuk timur, kilauan keemasan itu perlahan melahap tinta malam dan merubahnya menjadi pagi hari. Zayn yang baru saja selesai mandi, sekarang tengah memakai seragam putih abu-abunya itu. Terlihat bekas cambukan cukup dalam di bagian punggungnya, luka itu ia dapat beberapa hari lalu ulah dari siswa SMA ORION.

Bibir Zayn selalu menyeringai ketika memandang goresan panjang di punggung atletisnya di depan cermin. Dia malah berterima kasih kepada anak-anak bodoh yang setiap harinya tidak pernah berhenti memberi luka baru, hal ini akan semakin membakar semangat Zayn untuk membalas dendam kepada mereka. Lebih tepatnya di tubuh mereka untuk nantinya ia jadikan 'mainan'.

Zayn merapikan sedikit rambutnya, menyisirnya menggunakan jari-jari tangan. Sorot matanya yang semula fokus kepada cermin kini teralihkan kepada foto yang ia tempel di bagian sisinya, tatapan Zayn seketika berubah menjadi pandangan yang penuh akan nafsu dan obsesi mengerikan. "Zera sayang, tunggu gue di sekolah," ujar Zayn menggigit bawah bibirnya sembari mengelus foto tersebut.

Sebelum keluar dari dalam kamar, seperti biasa dirinya selalu membawa pisau lipat kecil dalam tas ranselnya. Sebuah benda keramat yang masih dilumuri darah manusia kering dari para korban Zayn. Kenapa Zayn tidak membersihkannya? Karena seni paling indah dari diri manusia adalah darah mereka.

*********

SMA ORION, sekolah menengah atas bergengsi yang dihuni oleh anak-anak berprestasi dan berkantong tebal. Zayn yang tidak memiliki apa-apa bahkan IQ pas-pasan bisa masuk ke sekolah ini karena Paman Zayn adalah teman dekat dari kepala sekolah.

Jadi tak heran, selain mendapatkan julukan 'boneka konyol', dia juga mendapat sebutan 'bocah ordal' oleh anak-anak SMA ORION.

Sesampainya di depan gerbang, Pak Basid—satpam SMA memanggil Zayn yang baru saja tiba. Bapak-bapak berusia empat puluh lima tahun itu melambaikan tangannya kepada laki-laki tersebut, membuat langkah Zayn tertarik ke arahnya. "Udah sarapan belum nak?" tanya Pak Basid yang tengah duduk di kursi pos.

"Belum Pak," balas Zayn seadanya.

"Ini, Bapak kebetulan punya nasi bungkus dua, satunya buat kamu deh," ujar Pak Basid memberikan sekantong kresek hitam berisi nasi bungkus itu kepada Zayn. Namun, dengan sopan dia menolaknya.

"Nggak perlu Pak, buat Bapak aja," balas Zayn tidak enak, mengingat Pak Basid sudah sering memberikan nasi bungkus kepada dirinya. Hanya pria inilah yang bisa memperlakukan Zayn layaknya manusia di sekolah, dari banyaknya orang toxic yang menghuni tempat ini.

"Bapak tahu kamu belum makan, udah terima aja, kayak baru pertama kali aja kamu," ujar Pak Basid dan dibalas anggukan kepala olehnya.

"Makasih ya Pak, mungkin nanti cuman Bapak aja yang saya kecuali kan," jawab Zayn melirihkan suaranya pada kalimat terakhir.

"Mmm maksudnya nak?" bingung Pak Basid ternyata sempat mendengar sebaris kata itu, Zayn seperti tertampar kembali ke kenyataan, tidak menyadari apa yang baru saja ia katakan.

"Maksudnya apa Pak? Saya nggak bilang apa-apa, Bapak salah denger kayaknya," respon Zayn mengelak dengan nada santai.

Kening Pak Basid masih mengkerut beberapa saat sebelum kembali seperti semula, mungkin dia memang salah dengar, lagipula suara Zayn juga samar. Jadi ia tak punya alasan untuk menaruh curiga kepada anak itu. "Yaudah, cepet masuk kelas sana, jaga diri kamu baik-baik ya nak, sudah denger kabar sendiri kan? Kalau SMA ini sekarang lagi ada masalah banyak murid hilang," ujar Pak Basid.

"Iya Pak, sekali lagi makasih ya Pak, saya pergi dulu assalamualaikum!" salam Zayn lalu berbalik badan dan melanjutkan langkahnya menuju kelas.

"Kenapa saya harus hati-hati Pak? Kalau pelaku nya itu.... saya sendiri," batin Zayn tersenyum smirk.

GETIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang