Mika melangkah menuju ke tempat tidur Ibu di ujung ruangan. Berusaha menguatkan diri, menerima kenyataan yang baru saja disampaikan oleh tim dokter.
Bahwa Ibu mengalami Mati Batang Otak! Sebuah kondisi yang ditandai dengan berhentinya seluruh fungsi otak secara permanen. Membuat seseorang kehilangan kesadaran dan kemampuan bernapas sendiri, sehingga memerlukan alat bantu pernapasan.
Seseorang yang didiagnosis mati batang otak umumnya dinyatakan telah meninggal dunia dan tidak dapat sadar kembali. Dokter memintanya untuk mempersiapkan diri.
Menatap sosok Ibu dengan tubuh begitu dingin. Secara medis masih hidup hanya karena bantuan alat. Semoga keputusan untuk tidak memperpanjang penderitaan Ibu adalah hal yang benar. Menyetujui saran tim dokter untuk tidak lagi menambah obat bila habis. Dosis yang akan diberikan setelah obat sekarang habis, adalah dosis tertinggi. Sementara tubuh tetap tidak merespon.
Menciumi wajah Ibu seiring keikhlasan bertambah dalam. Tidak boleh menangis agar jalan Ibu menuju Sang Pencipta semakin mudah. Ibu pernah bercerita, tidak ada air mata tumpah saat jenazah Bapak tiba di rumah sampai proses pemakaman selesai.
Orang-orang berpikir Ibu adalah wanita super, padahal sebenarnya sering menangis saat sendiri. Mengenang kebersamaan yang sangat singkat.
Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan Ibu! Berpegang pada satu keyakinan bahwa ajal tidak akan datang kalau belum waktunya. Segera mengabari sanak saudara begitu keluar dari ruang ICU.
***
Sampai menjelang sore, Mada belum membaca pesan, juga tidak merasa perlu menelepon balik. Padahal panggilan bertubi-tubi sudah jelas mengisyaratkan urgensi.
Kegelisahan akan keputusan yang mungkin salah membuatnya secara berkala meminta izin masuk ke ICU untuk mengecek sisa obat. Tersisa setengah lagi! Dada berdegup kencang dengan tangan mulai gemetaran.
"Ibu, maafkan Mika sudah membohongi Ibu. Pernikahan Mika memang sedang bermasalah, tapi Mika akan baik-baik saja, seburuk apa pun keadaan. Ibu jangan khawatir, ya. Mika itu anak Bapak dan Ibu! Mewarisi keberanian Bapak dan ketegaran Ibu." Menyeka air mata agar tidak sampai merembah.
"Ibu, Mika telah membuat keputusan yang mungkin akan Mika sesali. Maafkan Mika, Bu. Mika tidak tega melihat Ibu terus menderita. Bila waktu Ibu sudah tiba, Mika ikhlas. Pulanglah dengan tenang. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Mika akan menjadi anak kebanggaan Ibu dan Bapak." Mencium wajah pucat pasi yang masih mendengkur, seakan lelah sekali.
Waktu berlalu dalam lantunkan zikir kalbu untuk mengendalikan kegelisahan. Menunggu panggilan selanjutnya, hanya ada 2 kemungkinan. Ibu berpulang sebelum obat habis, atau harus menyaksikan saat-saat tim dokter melepas semua alat penyokong hidup dari tubuh Ibu. Membayangkan saja sudah membuatnya terisak pelan.
***
Wizzy datang dengan membawa makanan. Dekapannya sedikit mengurangi kegelisahan.
"Buka mulut!"
"Gue gak lapar."
"Kamu tuh, butuh tenaga! Siapa yang akan mengurus Ibu kalau kamu tumbang? Perutmu perlu terisi penuh untuk menghadapi lonjakan emosi yang sebentar lagi akan kamu hadapi."
Menghela napas berat, Wizzy benar bahwa ia harus mempersiapkan tubuh untuk tetap kuat. Tidak ada tempat bergantung selain kepada diri sendiri.
Kuah sup yang masih hangat membuat perut terasa lebih nyaman. Berusaha menikmati setiap suapan, semata untuk tetap kuat.
"Keluarga Ibu Asri Sulaiman!"
Degap! Mulut yang terbuka bersiap menerima suapan, tertutup kembali. Bangkit, dengan setengah berlari menuju ke pintu ruang ICU. Tatapan petugas sudah menjelaskan banyak makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Long Can You Survive?
RomanceMika terpaksa mendaftar di berbagai aplikasi dating demi bisa segera menikah, memenuhi keinginan sang ibu. Pertemuan dengan Mada yang kemudian langsung melamar, menjadikannya sosok pengantin dengan kisah ala Cinderella. Sebuah kisah yang ternyata ta...