05. Dia Menjemputku

66 17 5
                                    

"Hati-hati dijalan!"

Margot melambaikan tangannya pada Brighton dan Marcus yang siap melakukan perjalanan mengantarkan pesanan kayu ke rumah pejabat desa menggunakan gerobak tua milik Brighton.

Keduanya berangkat saat fajar hendak menyingsing. Kediaman pejabat desa lumayan jauh dari desa mereka. Brighton juga ingin singgah di pasar tradisional yang tak jauh dari rumah pejabat desa untuk membeli kebutuhan bahan makanan titipan istri tercintanya.

Marcus bertugas menarik gerobak sedangkan Brighton mendorong gerobaknya di belakang. Gerobak mereka penuh dengan potongan kayu yang sudah kering. Saat Marcus tak ada, Brighton hanya mampu memenuhi setengah gerobaknya dengan kayu. Tapi saat Marcus turut hadir membantunya, gerobak itu penuh.

Jalan yang mereka lalui telah memasuki hutan. Rumah penduduk sudah tak terlihat lagi. Setelah menempuh hutan ini, mereka akan bertemu dengan permukiman penduduk yang lebih besar dari desa mereka. Rumah pejabat yang dituju berada di tengah-tengah desa dan pasar tradisional yang mereka lewati baru mulai saat seperempat siang sudah terlewati.

Di perjalanan hanya terdengar celotehan Brighton. Pria tua itu membahas hal-hal random yang ditanggapi Marcus dengan anggukan atau gelengan kepala, sesekali terdiam saat tak mengerti pembahasan yang dilontarkan.

"Kau tahu, Marcus? Saat musim penghujan, jalan yang kita lalui ini akan penuh dengan genangan air yang licin baik untuk roda gerobak ataupun kaki kita sendiri. Aku sangat menghindari melakukan perjalanan malam jika musim hujan tiba. Jalanan ini gelap dan sepi, ditambah hewan buas akan berkeliaran saat malam untuk mencari mangsa. Aku tetap memeluk bantal walaupun istriku memukuliku karena ia tengah mengidam ingin mencicipi buah kesemek kering yang hanya ada dijual di pasar sebelah. Besoknya badanku penuh dengan lebam kebiruan. Hahaha! Lucu sekali jika mengingat masa-masa muda dulu."

Itu salah satu celotehan Brighton yang tak perlu Marcus tanggapi. Kadang pria itu bernostalgia sendiri mengenang masa mudanya, lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Margot, kemudian berlanjut menceritakan kehamilan pertama sampai anak laki-laki mereka beranjak dewasa dan memilih mencari pekerjaan di kota.

Setiap langkah yang mereka ambil, selalu saja ada pembahasan seru yang keluar dari mulut pria berumur itu. Marcus membiarkan saja Brighton berceloteh sampai mulutnya berbusa sekalipun. Perjalanan mereka tak terasa sepinya. Jika pita suaranya tak rusak, ia akan membalas celotehan Brighton dengan cerita menarik yang ia punya di hidupnya.

Tapi sayang itu hanyalah angan semata.



***



Marcus meletakkan kayu terakhir bersamaan dengan selesainya Brighton bertransaksi dengan si pejabat desa. Pria tua itu menghampiri Marcus dengan wajah kelewat sumringah.

"Marcus, lihat apa yang aku bawa!" tunjuknya pada tiga balutan kain yang isinya pasti koin perak hasil transaksinya dengan pejabat desa.

"Kau tau, kantung dengan tali merah ini terisi separuh koin emas karena kayu-kayu yang kita bawa berkualitas. Kita pesta hari ini, Marcus!" bisik Brighton sambil menimang-nimang kantung koin bertali merah yang dimaksud. Dalam hati, Marcus berucap syukur karena pendapatan mereka sedikit lebih banyak daripada sebelumnya. Sebelumnya mereka menerima paling banyak tiga kantung koin perak, tapi kali ini salah satu kantungnya bercampur dengan koin emas. Setara juga dengan usahanya mengangkat kayu gelondongan yang beratnya minta ampun.

Brighton menepuk-nepuk pundak Marcus dengan bangga. "Ini semua berkat bantuanmu. Jadi saat kita ke pasar nanti tunjuk saja apa yang kau mau. Jangan menolaknya lagi, mengerti?"

Marcus pun tak juga menolak. Di kepalanya sudah ada rencana untuk membeli bahan-bahan makanan yang sedikit lebih enak untuk diolah. Ia juga ingin membeli batu asah untuk pedangnya karena yang ada di rumah sudah sekecil jempol Brighton.

1751; MURMUROUS✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang