"Ayah!"
Pintu terbuka menampilkan raut datar Jeffrey. "Kenapa kau berteriak? Di sini bukan hutan jika kau lupa."
Arseno tidak peduli dengan nada suara datar yang ayahnya lemparkan padanya.
"Ayah yang mengutus seseorang untuk mengganggu perjalananku, iya kan?"
"Atas dasar apa kau menuduhku seperti itu?"
"Kenapa Ayah tidak berada di istana untuk menyambut kepulanganku?"
"Pentingkah? Kau bukan anak kecil lagi."
"Itu sebabnya Ayah mengutus orang itu untuk menyerang kami. Dan Ayah menungguku di rumah karena tahu aku akan berkunjung ke sini. Mau bagaimana pun Ayah menyuruhku mengambil pengawal, aku tidak akan mengambilnya!" Arseno terengah saat usai mengerahkan seluruh emosinya pada sang ayah.
Jeffrey menunjukkan raut bingungnya, "Apa yang kau bicarakan, anakku? Ayah tidak mengerti."
"Jangan pura-pura lupa dengan pembicaraan kita sebelumnya!"
Jeffrey melebarkan pintunya agar tubuhnya bisa dengan leluasa melihat anak semata wayangnya yang tengah emosi di kedatangan pertamanya.
"Tidak baik berbicara di ambang pintu seperti ini. Masuklah."
Arseno yang awalnya merasa marah karena perkataannya seperti sengaja pria itu hindari, netranya seketika terpaku pada tangan kanan sang ayah yang sedang menggenggam cambuk berhias darah.
"Ayah menyiksa orang lagi?"
Pertanyaan tersebut membuat Jeffrey melihat ke arah tangan kanannya. "Hanya menyadarkan kecoak kecil."
Arseno hanya geleng-geleng kepala. Ia paham betul dengan tabiat sang ayah yang memang terkenal kejam dalam mendidik anak buahnya. Terlebih pria itu kini menduduki jabatan sebagai menteri pertahanan, semua prajurit istana di bawah kendalinya. Maka pelatihan mereka juga berasal dari pria itu.
Atas kewenangan yang diberikan oleh kerajaan, Jeffrey dapat leluasa membentuk anak buah yang tunduk di bawah kuasanya dan memiliki tugas untuk menjaga semua keturunan Verlion.
"Salah kalau kau datang ke sini. Aku tidak akan menyiapkan suguhan untukmu."
"Tak masalah."
Arseno akhirnya masuk ke dalam rumah milik ayahnya yang memang sengaja terpisah dengan kediaman utama. Di rumah ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat singgah dan istirahat saja, melainkan juga terdapat basecamp para anak buah Jeffrey lengkap dengan ruang penyiksaan dan gudang senjata. Bahkan ibunya saja enggan berkunjung ke tempat ini. Arseno sesekali datang hanya untuk menenangkan diri dari amukan ibunya kala nilai akademiknya tidak sesuai keinginan wanita itu.
Ibunya sangat perfeksionis.
Jika ibunya kejam mendidiknya di bidang akademik, maka ayahnya kejam mendidiknya perihal keterampilan bertarung.
Tapi ibu tetaplah tahta tertinggi dalam kasta suatu keluarga. Arseno tidak bisa menentang ibunya. Jika dengan ayahnya ia bisa sedikit membangkang, walaupun pada akhirnya ia tetap dipaksa melakukan keinginan pria itu.
"Tidak mengunjungi Ibumu dahulu?" Jeffrey menyerahkan cambuk itu kepada salah satu anak buahnya yang sedari tadi mengekor di belakang. Ia ingin membersihkan noda darah yang ada di tangannya.
Arseno menggeleng, mendudukkan tubuhnya pada sofa empuk di ruang tengah yang memang diperuntukkan bagi tamu.
"Nanti saja, aku ingin istirahat dulu." ucapnya sambil menutup mata lelah. Mulai dari perjalanan pulang yang sempat tertunda karena penyerangan itu, kemudian mengikuti upacara penyambutan di istana sampai berkuda untuk menyambangi kediaman sang ayah, Arseno sama sekali tidak ada jeda untuk beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
1751; MURMUROUS✓
Fantasy[TERBIT] [PART TIDAK LENGKAP] Seorang anak kecil korban peperangan yang telah kehilangan segala-galanya dihidupnya, menerima uluran tangan dari seorang pria berbaju zirah yang mengatakan ingin mengangkatnya sebagai anak. Pikirannya yang masih polos...