Margot melihat sang suami beserta Marcus muncul dijalan setapak yang ada di hutan belakang gubuk mereka saat matahari tepat berada di atas kepala. Wanita berumur tersebut sudah selesai menyusun kayu bakar pesanan pejabat desa yang datang ke tempat mereka lusa lalu.
Sang suami, Brighton menyuruh Marcus meletakkan kayu yang ia bawa di punggungnya ke tanah yang masih kosong. Tidak membiarkan kayu yang baru dicari tercampur dengan kayu yang lama. Marcus mengambil kapak tanpa disuruh kemudian mulai membelah potongan kayu sesuai ukuran yang Brighton tetapkan.
Tetangga sebelah Marcus memang sedari dulu memiliki pekerjaan mencari kayu bakar untuk dijual sebagai penghidupan mereka. Jika musim kemarau seperti sekarang akan ramai dikunjungi oleh penduduk yang ingin membeli kayu bakar kering. Tapi jika musim penghujan datang, kayu akan sulit dilahap api karena basah. Oleh karena itu Brighton akan mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya saat musim kemarau dan akan menyimpan kayu-kayu kering tersebut di belakang gubuknya sebagai persediaan saat musim hujan tiba. Pemasukan mereka tetap mengalir walaupun tak sebanyak seperti musim kemarau.
Kehadiran Marcus membuat pekerjaan Brighton terbantu. Fisik pemuda itu terbilang kuat serta tubuhnya kekar - menurut istrinya - makanya Marcus dipercaya oleh pria berumur itu untuk mengangkat kayu gelondongan yang lebih besar daripada yang biasa ia angkat saat tidak ada Marcus.
Marcus tentu menerima upah dari apa yang ia lakukan bersama Brighton, namun Marcus sering menolak upah tersebut dengan gelengan kepala. Waktu ditanya mengapa ia menolak, Marcus pun bingung bagaimana menjelaskan alasannya pada mereka. Ia tidak bisa berkomunikasi dengan cara lain selain mengangguk dan menggeleng. Maka sebagai balasan atas bantuan Marcus, Margot sering mengajak lelaki tersebut makan bersama mereka.
"Marcus! Ayo minum dulu! Kau pasti kehausan! Letakkan kapak itu, biar aku yang meneruskan pekerjaanmu nanti." teriak Brighton kala melihat Marcus tengah menggosok matanya yang terkena serpihan kayu.
Lelaki itu menurut saja kemudian menghampiri Brighton yang duduk di teras gubuknya. Bersamaan dengan itu Margot datang membawa singkong rebus di tangannya.
"Makanlah dulu. Kalian pasti lapar." ucap wanita itu yang langsung disambut senang oleh sang suami.
Marcus tiba-tiba berdiri dari duduknya sambil celingukan seperti mencari sesuatu. Membuat pasangan suami-istri itu kebingungan dibuatnya.
"Mencari apa, Marcus?" tanya Margot. Marcus berbalik lalu memperlihatkan kedua telapak tangannya yang kotor dan memerah akibat gagang kapak yang terbuat dari kayu kasar.
"Tanganmu sakit? Ingin aku obati?"
Marcus menggeleng. Ia menunjuk rumahnya lalu menunjuk telapak tangannya.
Brighton mengernyit, "Kau ingin pulang? Tidak dahulu, kau harus mengisi perutmu." tolak pria itu setelah paham maksud Marcus. Namun pemuda itu kembali menggeleng. Ia menunjuk kendi berisi air minum lalu tanpa sempat Brighton cegah lagi, Marcus berlari ke gubuknya meninggalkan tanda tanya besar di kepala pria berumur itu.
Tiba-tiba bahu Brighton dipukul oleh sang istri. "Marcus hanya ingin mencuci tangannya. Astaga, kenapa aku baru paham sekarang?" Margot geleng-geleng kepala, sedangkan Brighton menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal.
Tak jarang mereka gagal memahami apa yang ingin disampaikan Marcus pada mereka. Otak tua mereka dipaksa berpikir dan kadang tak sesuai dugaan sehingga saat maksud Marcus ditanggapi keliru oleh mereka, lelaki itu akan duduk diam tanpa melakukan apapun. Baginya percuma saja bergerak jika maksudnya tak mereka pahami.
Marcus datang tak lama kemudian dengan kedua tangan yang sudah bersih. Mengambil satu potong singkong yang masih mengepul, meniupnya sebentar sebelum melahapnya dengan pelan sebab panas yang masih tertinggal di daging singkong tersebut.
"Maafkan kami karena salah memahamimu. Maklum otak sudah tua, kerjanya juga lamban seperti siput." sesal Margot sambil mengusap lembut surai hitam Marcus yang panjangnya sudah menyentuh bahu. Lelaki itu mengangguk kemudian fokus lagi pada makanannya.
***
"Aduh segarnya~!" Brighton membiarkan arus sungai mendorong tubuh gempalnya mengapung telentang ke arah hilir. Marcus memunculkan kepalanya dengan pandangan tertutup rambut depannya yang panjang. Tak jauh dari Marcus, di tepi sungai tepatnya di atas salah satu batu pipih yang muncul di permukaan sungai, Margot sedang mencuci baju suaminya dan baju milik Marcus. Menggunakan dahan pohon untuk memukul-mukul permukaan baju untuk menerbangkan debu dan gesekan batu sungai untuk membersihkan bagian kain yang kotor.
"Marcus! Lihat aku!"
Entah sejak kapan Brighton sudah berdiri di tepi sungai dengan posisi bak peserta renang yang akan terjun ke air saat peluit dibunyikan.
Menumpukan seluruh berat badannya di kedua kaki, pria berumur itu mampu melakukan salto di udara sebelum tubuhnya terjun ke air menciptakan gelombang besar yang hampir menghanyutkan pakaian mereka yang Margot letakkan di tepi batu.
Brighton muncul dipermukaan air dengan wajah pongahnya menatap pada Marcus yang hanya diam di tempat.
"Apa kau bisa sepertiku tadi, he?"
Marcus menggeleng supaya Brighton semakin membanggakan diri. Sebenarnya ia bisa lebih daripada itu, tapi tubuhnya sudah kelelahan membawa gelondongan kayu di punggungnya. Maka Marcus hanya melanjutkan acara mandinya sambil menonton Brighton berenang kesana-kemari seperti anak kecil.
"Dasar, suamiku. Seperti tidak pernah mandi di sungai saja." komentar Margot sambil memeras baju atas Marcus. "Nah, Marcus. Lepas celana panjangmu biar aku yang cucikan."
Marcus langsung menurut. Melepas celananya tanpa ragu karena tubuh bawahnya berada di dalam air. Margot bersiul genit saat Marcus berbalik untuk menyerahkan celananya, tubuh atasnya yang penuh dengan cetakan otot-otot sempurna menjadi pemandangan gratis untuk wanita berumur itu.
"Marcus, jika kau hidup 60 tahun lebih awal, aku pasti memilihmu menjadi suamiku daripada pria tua berperut beruang itu."
Marcus menggelengkan kepalanya kemudian menenggelamkan diri ke air hingga membuahkan desahan kecewa dari bibir keriput Margot. Acara mandi seperti ini lumayan bisa mencuci mata wanita itu dengan tubuh atletis Marcus.
Maklum saja, para pemuda di desa ini lebih suka merantau ke pusat kota atau bekerja di istana. Para laki-laki muda akan menjadi buruh kasar atau sedikit lebih beruntung mereka akan direkrut menjadi prajurit istana. Sedangkan para perempuan muda akan menjadi pelayan di rumah bordil, akan sedikit terhormat saat mereka berhasil menjadi pelayan di istana, pencapaian rakyat jelata yang paling tinggi.
Kedatangan Marcus di desa ini sempat menghebohkan penduduk sekitar karena ada seorang pemuda berwajah tampan yang menempati gubuk kosong di samping pasangan suami-istri tua. Tetapi waktu mengetahui jika Marcus tidak bisa berbicara, mereka perlahan-lahan mundur dan kembali ke aktivitas semula seperti sebelum Marcus datang. Ia dikucilkan secara tidak langsung oleh penduduk. Hanya Brighton dan Margot yang berhubungan baik dengan Marcus sampai sekarang.
Marcus sendiri bersyukur kenal dengan pasangan tersebut. Karena mereka ia merasakan kasih sayang layaknya anak. Tak ada pukulan dan cambukan yang ia dapat sebagai bentuk kasih sayang dari Tuan Verlion yang 'katanya' adalah orangtua penggantinya.
Marcus merasakan hidup yang sebenarnya di desa ini. Kehadiran Brighton dan Margot saja sudah cukup mewarnai hidupnya yang suram.
Netra jelaganya mendongak ke arah langit sore. Ia berharap pada langit agar kebahagiaan ini tetap ia rasakan sampai nanti.
Tak ada yang tahu dengan rencana yang terjadi selanjutnya, tapi Marcus hanya ingin kebahagiaan yang ia rasakan kini dapat ia jalani sedikit lebih lama lagi.
Tbc.
Kerasa gak suasana desanya? Bayangin aja desa yang ada di drama kerajaan Korea gitu.
Nyonya Margot to Marcus: kiw kiw :v
Okedeh, jangan lupa ⭐ dan 💬 ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
1751; MURMUROUS✓
Fantasia[TERBIT] [PART TIDAK LENGKAP] Seorang anak kecil korban peperangan yang telah kehilangan segala-galanya dihidupnya, menerima uluran tangan dari seorang pria berbaju zirah yang mengatakan ingin mengangkatnya sebagai anak. Pikirannya yang masih polos...