Bab 4: Selamat Tinggal

18 3 0
                                    

Pagi yang cerah di hari kamis, Aini saat menyadari waktu sudah hampir setengah tujuh bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Datang bulan membuatnya malas untuk bangun lebih pagi, belum lagi semalam ia begadang mengerjakan tugas. Alarm juga tidak ia dengar.

Aini mencari keberadaan Sekar sembari terus memanggil-manggil namanya, tapi yang dipanggil tak pernah menyahut. Seluruh ruangan kos tak ada jejak keberadaan Sekar. Aini mencoba mengingat-ingat, semalam ia seolah bermimpi Sekar mengatakan ia akan berangkat lebih awal karena sesuatu hal, mungkinkah itu sebenarnya bukan mimpi?

Aini putus asa, secepat apapun ia bergegas tak akan mampu mengalahkan waktu yang terus berjalan. Perlombaannya dengan waktu tak akan pernah berhasil. Ia hanya bisa berharap semoga mata kuliah di jam pertama dosennya datang lebih siang darinya.

Jarak rumah kos dengan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit dengan menggunakan angkutan umum ia langsung tiba di tempat. Masih ramai lalu lalang mahasiswa di jam itu, ternyata bukan hanya dia yang datang terlambat.

Aini berjalan cepat ke gedung fakultasnya, seperti biasa setiap kali berjalan ia terlalu fokus dengan langkah kakinya, tidak pernah memerhatikan sekeliling tempat itu, ia tidak ingin berbasa-basi dengan orang yang akan ia temui nanti.

Hampir memasuki lorong, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. Suara yang tak asing di telinga.

"Aini!" panggil orang itu dari belakang, Aini langsung merespon dan menoleh ke belakang mencari keberadaan seseorang yang menyapanya barusan.

"Kamu juga kesiangan?" tanya Aini pada seseorang yang memanggilnya barusan, ia mendekat ke arah Aini dan kini mereka saling berhadapan.

"Tadi ada yang harus diurus di kantor Papa-ku," jawabnya sedikit terengah-engah, mungkin ia juga terburu-buru seperti Aini sejak tadi.

"Kirain aku sendiri yang datang terlambat," Aini bernapas lega.

"Syukur deh, ada temannya." sambungnya.

Mereka berdua akhirnya berjalan menuju ke kelas bersama.

"Kemarin, kamu kenapa tidak masuk?" tanya-nya membuka pembicaraan.

"Aku ada kesibukan," jawab Aini, pandangannya masih fokus ke depan. Sementara yang bertanya menatapnya lekat-lekat.

"Kamu yakin tidak ada apa-apa?"

"Yakin kok," jawab Aini menunjukkan senyum simpul ke arahnya.

"Aku dengar, mahasiswa baru di kelas kita itu pernah satu SMA dengan kamu. Kamu kenal?" tanya-nya.

"Kenal."

"Serius? Dia orangnya seperti apa waktu di SMA?" tanya-nya lagi dengan antusias. Tetapi pertanyaan itu harus terhenti karena mereka sudah hampir sampai di kelas. Aini juga tak sempat menjawabnya, ia hanya mencoba tersenyum sekilas lalu bergegas masuk. Beruntungnya saat itu dosen belum hadir.

Aini berjalan diikuti seseorang itu dari belakang. Fokus Aini tiba-tiba teralihkan dengan sosok yang sedang duduk manis tepat di belakang kursinya. Sejak kapan dia menempati kursi itu?

"Difa, kok tumben bareng sama Aini?" sapa seorang mahasiswi yang duduknya paling belakang. Ia sangat segan pada Nadifa tapi tidak pada Aini.

"Kebetulan tadi kita ketemu di depan," jawab Nadifa.

"Oh, kirain," katanya sedikit sinis. Ingin sekali Aini menimpali orang itu dan berkata, "memangnya kenapa kalau mereka berangkat bersama?"

Suasana kelas sangat membosankan, semua mahasiswa sibuk dengan ponsel dan laptopnya masing-masing. Aini tidak bisa berkutik. Seseorang di belakang tempat duduknya seperti cctv yang menyorot setiap geraknya. Bagaimana ia akan bisa bersikap biasa saja sementara Hanif seseorang yang sekarang duduk tepat di belakangnya.

Cinta Dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang