Hari begitu cerah, sinar matahari pagi mulai muncul di balik celah-celah ventilasi rumah kos. Aini sudah siap sejak beberapa menit yang lalu. Hari ini, Sekar dan Aini berangkat ke kampus bersama.
Sesampainya di kampus mereka mampir sejenak ke kantin, hendak sarapan. Mereka menuju kantin langganan, tetapi kali ini bukan bakso pilihan mereka untuk sarapan melainkan nasi dengan lauk ayam goreng, simple tetapi mengenyangkan.
Sekar melahap makanannya tidak bersisa, tidak bersuara bahkan tidak mengobrol dengan Aini, fokus dengan makanan yang tersaji. Aini pun sama.
"Kamu kayak orang kelaparan Sekar," celetuk Aini melihat Sekar yang begitu lahap makan.
"Ya, aku lagi pembalasan, karena semalam aku tidak sempat makan," jawab Sekar sambil mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.
"Tapi kok aneh ya, tidak seperti biasanya?" Aini mengerutkan alisnya mencoba berpikir.
"Cepat habiskan makananmu! Nanti keburu masuk," kata Sekar.
Setelah beberapa menit, akhirnya mereka masuk ke kelas masing-masing.
Setiap kali memasuki kelas, pandangan Aini selalu tertuju pada kursi di belakangnya, tempat Hanif duduk. Sudah beberapa hari meski tempat duduk mereka dekat, tetapi jarak seolah tercipta jutaan kilometer, atau mungkin tembok Cina telah berpindah dan menjadi pembatas bagi mereka berdua. Kecanggungan membuat mereka tidak leluasa. Kejadian masa lalu telah mencipta jarak itu.
Aini melangkahkan kakinya, matanya melirik sekilas ke Hanif, Hanif pun sama, mereka berdua beradu pandang dan secara bersamaan mengalihkan pandangan. Aini mendaratkan diri ke kursi, meletakkan beberapa perlengkapan menulis di atas meja dan menyimpan tas di samping kursinya. Suasana kelas sudah sedikit ramai, Nadifa juga sudah datang.
Setelah lewat beberapa menit jam mata kuliah akhirnya dimulai. Semua mahasiswa memerhatikan pemateri yang sedang tampil di depan kelas.
"Ibu ada kuis nih, bagi yang terpilih Ibu ada reward, kalian siap?" tanya Maya dosen mata kuliah Bahasa Indonesia. Beberapa mahasiswa ada yang berseru siap, tetapi ada juga yang hanya diam.
"Ibu tantang kalian membuat puisi dengan tema bebas dalam waktu sepuluh menit, dan bacakan puisinya di depan," kata Maya, mahasiswa bersorak antara mengeluh atau mengiyakan.
"Waktunya dimulai dari sekarang!" sambungnya.
Sepuluh menit kemudian...
"Sebelum ditunjuk, ada yang mengajukan diri tampil pertama? Ibu hanya butuh dua orang," tanya Maya sembari berisyarat dengan kedua jari tangannya.
"Saya, Bu!" Nadifa berseru diikuti sorakan para mahasiswa.
"Silakan, Nadifa. Bacakan puisinya di depan!"
Nadifa melangkah ke depan penuh percaya diri. Menengok ke arah Hanif sekilas, Aini melihat itu ia langsung spontan melirik ke Hanif sementara yang dilirik memandangi bukunya sendiri.
"Dalam gelap kutemukan secercah cahaya. Dalam sunyi kutemukan suara hati. Dalam sepi kutemukan ketenangan. Dalam cinta kutemukan kamu sebagai pemiliknya.
Jika dilihat dari sisi manapun, tak akan ada ruang bagi hati untuk menyimpan yang lainnya, selain kamu sebagai penghuninya.
Jika rasa ini sungguh mampu terucap, maukah kamu mewujudkannya? Menjadi sosok satu-satunya yang pantas kutitipkan sebuah rasa,"Nadifa membacakan puisinya, semua ikut tersentuh menatapnya penuh rasa kagum termasuk dengan Aini, puisi itu seolah menyiratkan sesuatu hal, Aini menebak bahwa itu untuk seseorang yang beberapa saat tadi Nadifa lihat, Hanif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Sunyi
Teen FictionAda beberapa perasaan yang memang lebih baik dipendam saja. Bukan karena tidak mampu diucapkan, melainkan diri ini yang tak cukup pantas untuk memilikinya. Cerita ini tentang bagaimana seseorang yang mencintai diam-diam. Tidak tahu cinta itu datang...