"Kau seharusnya bersyukur, Jennie.." Hoyeon memasukkan beberapa pakaian milik Jennie ke dalam koper besar berwarna biru. Tanpa menoleh pada sosok yang diajak bicara, ia melanjutkan, "Meskipun David brengsek, keluarganya baik. Rupanya, seluruh keluarganya juga tidak mengakuinya, itulah mengapa ia pergi sesuka hatinya. Di rumah besar orang tuanya, aku bahkan tidak menemukan fotonya sama sekali, selain foto keluarga di masa kecil, yang aku yakini itu wajah David."
Jennie hanya diam, duduk di ranjang memperhatikan wanita yang tidak berhenti bicara di depannya. Adalah Jung Hoyeon, teman yang sudah ia anggap saudara. Mereka telah bersama selama lebih dari 10 tahun, yang juga memiliki nasib yang sama sebagai sebatang kara.
"Keluarga Van itu, kalau kau melihat rumahnya, aku yakin kau akan pingsan. Besaarrr!" ucapnya dengan ekspresi kagum, "Awalnya aku sangat takut, penjaga rumahnya benar-benar memiliki wajah yang mengerikan, tapi, setelah aku bertemu dengan Ibu, atau Ibunya David, yang aku lihat hanya keramahan dan kehangatan."
"Aku heran, beda sekali dengan brengsek David yang membosankan dan benar-benar tidak tahu diri—"
"Unnie.." sela Jennie, "Bisakah Unnie tidak terus berbicara buruk tentang David?"
Hoyeon menghentikan kegiatannya, menoleh pada Jennie sepenuhnya, dan mendapati tatapan penuh luka di matanya. Hoyeon menghela napas, merutuki dirinya karena tidak bisa menahan diri untuk mengumpat pada pria tidak bertanggung jawab, yang telah menghancurkan hidup Jennie, wanita yang ia anggap adiknya sendiri.
"Bagaimanapun, dia itu Appa dari anakku, Unnie."
Hati Hoyeon terasa sakit untuk Jennie, karena harus merasakan kesialan seperti ini. Ia pun menghentikan kegiatan packing-nya, dan mendekati Jennie, mengusap bahunya pelan ketika menatap mata yang sayu-sayu itu..
"Seburuk apapun David, nanti, kalau anakku besar dan bertanya siapa Appanya, jawabannya akan tetap David."
Hoyeon mengangguk, "Maafkan aku.. Aku selalu merasa kau tidak pantas diperlakukan seperti sampah." Hoyeon mengusap air mata yang muncul di ujung matanya, sebelum berkata, "Aku yakin, Ibu tidak akan mengingkari janjinya untuk bertanggung jawab padamu.. Nanti, setelah kau bersama mereka, kau akan mendapatkan hidup yang lebih baik, dan kau akan bisa memenuhi semua kebutuhan anakmu.."
Jennie mengangguk lemah, tidak meragukan harapan Hoyeon padanya.
"Kau harus tahu, Jennie.. Semua yang aku lakukan ini hanya untuk kebaikanmu dan anakmu. Aku merasa sedih karena tidak bisa memenuhi semua kebutuhanmu, itu sangat tidak adil untuk anakmu."
"Aku mengerti, Unnie.."
Jennie berjalan menuju kopernya, sudah terisi penuh. Ia menambahkan beberapa barangnya yang tertinggal, dan menutupnya.
"Aku akan sering menjengukmu.. Kau juga boleh datang ke kedaiku, Jennie.."
Tersenyum, Jennie mengangguk. Meskipun berat, semua yang dilakukan Hoyeon memang hanya demi dirinya. Bergabung dengan Keluarga Van.. kalau bukan karena kandungan di perutnya, ia tidak akan mau bergabung dengan keluarga kaya itu, hanya demi pertanggungjawaban.
Hoyeon menyentuh bahu Jennie, ketika matanya melebar, "Pintu diketuk, sepertinya, kau sudah dijemput."
Sesuai prediksi Hoyeon, itu adalah sopir yang kemarin mengantarnya pulang. Hanya saja, ia belum tahu namanya. Pria dengan pakaian serba hitam itu, tersenyum ramah.
"Selamat pagi, aku Kim Jinhwan. Aku mendapat perintah untuk menjemput Nyonya Van.."
Luar biasa. Belum apa-apa, Jennie sudah mendapat sebutan Nyonya Van. Penasaran, Hoyeon melirik mobil di belakang sopir itu. Ckckck, mobil yang lebih mewah daripada mobil kemarin yang mengantarnya.
Tentu saja, mungkin itu kendaraan khusus untuk Nyonya Van?
"Halo? Aku mendapat perintah untuk menjemput Nyonya Van. Ini benar lokasinya, bukan?"
"Aah, ya.. tunggu sebentar." Hoyeon segera tersadar dan berlarian memasuki rumahnya, membantu Jennie menarik koper besar dan mengantarnya sampai ke depan.
Sopir pria itu menunduk dan tersenyum sopan, begitu menghormati Jennie walau Hoyeon yakin, mereka belum pernah saling bertemu. Keluarga Van memang luar biasa.
"Selamat pagi, Nyonya. Mari kita pulang sekarang? Di rumah, keluarga besar sedang menunggumu.."
Hoyeon hampir saja melompat karena ajakan yang dilontarkan pria itu pada Jennie. Pulang? Artinya, rumah besar itu sudah bisa disebut rumah Jennie? Luar biasa! Jennie memperhatikan mulut Hoyeon yang melebar tidak terkendali, membuatnya meringis, sedikit malu. Namun, ia segera menepuk pelan lengannya.
"Unnie, aku pergi, ya? Terima kasih untuk semuanya."
"Sama-sama, Jen.. Jangan lupa sering mengunjungiku nanti, ya? Atau aku akan mengunjungimu saat waktu senggangku. Jaga keponakan kecilku, oke?"
Jennie tertawa kecil, mengangguk. Jinhwan segera mengangkat koper besar Jennie dan memasukkannya ke dalam bagasi, sebelum berlari kecil dan membuka pintu untuk Jennie.
**
Jennie akui, ia mengagumi interior mobil ini. Sebenarnya, dari tampilan luarnya pun, Jennie tahu mobil ini bukan kaleng-kaleng. Ia memang tidak tahu kediaman Van, karena, Hoyeon hanya pergi sendiri beberapa hari yang lalu. Namun, berdasarkan ceritanya, rumah itu besar. Mungkin, mobil yang dikendarainya juga sesuai dengan kemegahan kediaman Van.
"Nyonya Van mau mendengarkan musik klasik? Atau mau request musik yang lain?" Jinhwan menawarkan, sembari memasang seatbelt di tubuhnya sendiri.
"Mm, terima kasih, terserah.. Apapun yang biasanya kau putar."
Sang sopir tersenyum, "Kalau begitu, karena Nyonya Van sedang hamil, aku akan mencari musik klasik yang menenangkan." Setelah itu Jinhwan sibuk memilih jenis musik.
Jennie tidak tahu, bahwa kehidupan orang kaya sedikit ruwet. Entahlah, apakah semua orang kaya seperti itu, atau ini berlaku untuk Keluarga Van ini?
Setelah menemukan musik yang dicarinya, Jinhwan kembali menatap Jennie melalui cermin, "Perjalanan kita 40 menit, Nyonya.. Ada yang mau dibeli dulu? Nyonya mau camilan?"
"Tidak usah.."
Perut Jennie rasanya mual, hanya karena terus menerus mendapat tawaran, padahal mereka hanya ingin ke rumah, kenapa ia harus ditawari begitu banyak hal? Namun, setelah itu, Jinhwan membuka kotak penyimpanan kecil yang ada di dalam mobil, ada beberapa camilan yang sepertinya sudah disediakan. Hebat.
"Ibu sudah menduga, Nyonya Van akan menolak.." pria itu tersenyum manis, "Maka dari itu, Ibu sudah menyiapkan camilan sehat.. Silakan dinikmati, Nyonya.. Aku akan mulai menyetir sekarang."
Ini pertama kalinya Jennie merasakan rasanya dilayani. Mobil mewah beserta sopirnya, dan musik klasik yang ternyata asik juga di telinganya. Suasana tenang, mobil mahal memang tidak banyak bergerak, Jennie tidak merasa ia berada di dalam mobil yang sedang berjalan.
Meski begitu, pikiran Jennie masih bergelut. Ia bingung, setelah ini, apa yang akan terjadi pada kehidupannya? Meskipun ia akan hidup bersama keluarga kaya, ia pun tidak tahu, kehidupannya nantinya. Mungkin karena alunan musik yang seolah menghipnotis, atau karena aroma minyak aromatherapy yang keluar dari portable diffuser yang menenangkan, atau mungkin karena pikirannya terlalu berisik, Jennie mendapati dirinya diserang kantuk. Ia pun memilih tidur, menyiapkan tenaga untuk kejutan yang akan menyambutnya nanti..
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐐𝐔𝐄𝐄𝐍 𝐎𝐅 𝐓𝐄𝐀𝐑𝐒 - 𝐓𝐀𝐄𝐍𝐍𝐈𝐄
Fanfiction"Jennie, kau harus ingat. Kau bukan wanita yang ingin aku ajak menaiki altar. Sejak dulu, sekarang, dan kapanpun. Gaun pernikahan yang kau kenakan, aku tidak berharap kau yang mengenakannya. Aku sudah mengatakannya, kan? Kuharap kau ingat." Ucap Tae...