Bab 1

156 19 2
                                    

Aroma kopi dan kue beradu saat pintu kaca cafe dibuka. Hidung bangir Nabila terganggu dengan aroma tersebut, namun ia suka. Di tangannya ada sebuah buku catatan yang berisi tentang rencana bisnis yang akan ia jalankan. Tote bag diselipkan di pundak kirinya, tubuh kecil dan ramping itu dibalut kemeja putih tulang berpadu vest rajut coklat tua. Kulot coklat susu menutupi kedua kakinya dan pashmina krem membingkai wajah manisnya. Langkahnya didukung sepatu platform hitam.

Sebelum menuju meja, perempuan 24 tahun ini memesan kopi dan sepotong cheesecake. Kemudian ia menduduki meja kosong di sudut. Tas ia letakkan di atas paha, tangannya meraih ponsel lalu mengetikkan sebuah pesan pada Iskandar, orang yang ia tunggu di sini.

[Aku udah sampe. Kamu di mana?]

Sebuah motor sport terparkir di depan cafe. Laki-laki berkulit putih, alis tebal, hidung mancung, tinggi, dan tampan baru saja turun dari kendaraan mahal itu. Ia mengenakan setelan semi jas abu tua di dalamnya kaos abu muda dan celana jins. Kakinya tertutupi sepatu kets bermerek. Langkahnya dipercepat masuk ke dalam cafe. Matanya langsung memindai seluruh ruang dan mendapati seorang perempuan berhijab duduk di sudut. Senyumnya terukir kala melihat orang yang tengah menunggunya.

Tak perlu pikir panjang lagi, ia langsung menghampiri.

“Hai, Nab,” sapa Iskandar ramah.

Nabila tersenyum menyambut kedatangan Iskandar. Baru saja ia mengirim pesan.

“Udah lama, ya? Sorry banget aku telat.” Iskandar menangkupkan kedua telapak tangannya di dada. Ia merasa agak tidak enak pada Nabila yang sudah tiba lebih dulu. Padahal ia berkata akan tiba lebih cepat dari Nabila.

Nabila mengulum senyum maklum. “Ya, nggak apa-apa, Iskan.”

Iskandar cukup lega Nabila tak memprotes ketelatannya. Kemudian, ia duduk di hadapan Nabila.

“Kamu udah pesen makanan dan minuman?” tanya Iskandar.

“Udah tadi,” jawab Nabila singkat.

Iskandar menengok ke arah bar. Seorang barista tengah menyiapkan pesenan-pesanan, lalu ia beranjak dari duduknya menuju meja bar. Barista berperawakan kurus, tinggi, berambut pendek, nampak kaget dengan kedatangan Iskandar.

“Eh, Bang Iskandar,” sapa barista tersebut yang bernama Iqbal.

Iskandar tersenyum membalas sapaan karyawannya itu. “Lumayan repot, Bal?”

“Ya, gitulah, Bang,” jawab Iqbal sambil menuangkan kopi ke gelas.

“Pesanan atas nama Nabila sudah selesai?” tanya Iskandar sambil menyisir pekerjaan yang dilakukan oleh Iqbal.

Iqbal tersadar, lalu ia menunjuk segelas kopi yang baru saja dibuat dan siap diantar ke meja pengunjung. “Sudah, Bang, baru aja. Oh, iya, sebentar.” Iqbal mengambil sepotong cheesecake dari dalam etalase dan menaruhnya di piring.

“Biar gue aja yang anter,” kata Iskandar sambil mengambil baki dan meletakkan pesanan Nabila ke atasnya.

“Tapi, Bang, itu kan tugas saya.” Iqbal berusaha mengambil kembali yang menjadi pekerjaannya. Ia tak enak hati pada bosnya si pemilik cafe ini.

Iskandar tersenyum. “Nggak apa-apa, Bal, ini buat…” kalimatnya menggantung dengan nada yang membuat penasaran. Di lubuk hatinya terpendam rasa pada Nabila.

Iqbal nampak menunggu kata selanjutnya.

“Buat dia,” lanjut Iskandar lalu menoleh pada Nabila yang duduk sambil memainkan tabletnya.

Mata Iqbal turut beralih pada sosok Nabila. Beberapa detik ia sempat terpukau melihat orang yang sedang bersama Iskandar. Ada debar di dadanya yang menyelinap tanpa permisi. Kesan teduh dan hangat menjadi yang pertama hadir di pikirannya.

Iskandar berlalu dari hadapan Iqbal, begitu juga dengan keterpukauan tersebut. Iqbal tersadar, pekerjaannya belum selesai. Sempat-sempatnya ia memikirkan perempuan yang terlihat sulit digapainya.

Iqbal kembali fokus pada pekerjaannya, sesekali matanya mencuri pandang pada Nabila yang tengah berbincang serius dengan Iskandar. Sesekali tawa terselip di antara dialog keduanya. Rasa penasaran hadir di pikiran Iqbal tentang apa yang sedang didiskusikan. Selain itu, tiba-tiba ada keinginannya untuk berkenalan dengan Nabila.

Mata Iskandar tak lepas menatap Nabila. Setiap kata dan tawa perempuan yang telah mencuri hatinya selalu mampu membuatnya jatuh hati berulang kali. Walaupun sampai detik ini Nabila tak tahu akan perasaannya itu. Iskandar ingin menyampaikan perasaannya di waktu yang tepat. Bukan hanya sekadar mengungkapkan, tapi meminangnya adalah tujuan utama. Bagi Iskandar, mengungkapkan cinta itu harus dengan bukti tindakan nyata, bukan sekadar kata manis semata.

***

“Saya nggak pesan ini, Mas,” ucap Nabila heran dan bingung melihat sepotong mile crepes mendarat di mejanya. Nabila berkunjung kembali ke cafe milik Iskandar. Kali ini ia tak ada janji temu dengan si empunya cafe. Ia hanya ingin menikmati kopi dan kue manis kesukaannya, sembari melakukan pekerjaan utamanya sebagai penulis.

Iqbal tersenyum sopan. “Untuk Mbaknya, saya lihat beberapa kali ke sini hampir selalu pesan ini.”

Benar apa yang dikatakan Iqbal. Nabila tersenyum sedikit kaku. Ia merasa tak enak hati menerima kue tersebut.

“Ini beneran? Diskon apa free?” tanya Nabila mengonfirmasi.

“Free,” jawab Iqbal. Sepotong mile crepes ini khusus Iqbal berikan pada Nabila dengan cara memotong gajinya.

Nabila tak memungkiri betapa senangnya mendapatkan makanan gratis. Namun, ia harus tetap menjaga ekspresinya.

“Beneran?” tanyanya sekali lagi.

Iqbal mengangguk. “Iya,” jawabnya.

Senyum manis Nabila merekah membuat Iqbal sedikit gugup.

“Terima kasih, ya, Mas. Oh, ya, saya Nabila.” Nabila memperkenalkan dirinya lebih dulu pada Iqbal, namun tangannya tak terulur untuk bersalaman.

Bagai dayung bersambut. Iqbal tak pernah menyangka bahwa akan bisa berkenalan dengan Nabila. Bahkan ia yang lebih dulu. Iqbal memahami cara berkenalan Nabila yang tak bersentuhan.

“Saya Iqbal. Salam kenal, Mbak Nabila,” balas Iqbal ramah.

“Panggil Nabila aja,” ujar Nabila santai.

“O, oh, ya, Nabila.” Iqbal masih kaku menyebutkan nama yang beberapa waktu ini terus menyita perhatiannya.

Nabila tersenyum dan sedikit tertawa mendengar Iqbal yang menyebut namanya dengan kaku. Ia memaklumi hal tersebut.

Hari-hari berikutnya hingga berpekan-pekan, pertemanan Nabila dan Iqbal semakin akrab. Nabila yang ramah membuat Iqbal cepat beradaptasi dengannya. Begitu juga dengan kue-kue gratis yang diberikan Iqbal. Nabila tak pernah berpikir, apakah kue-kue itu memang sengaja diberikan oleh kebijakan cafe yang dipegang oleh Iskandar. Ataukah murni pemberian Iqbal. Ia menikmati kue-kue itu dengan senang, sesekali ia dan Iqbal bercanda apabila saat cafe sepi.

Lama kelamaan perasaan nyaman itu timbul di hati Nabila. Ia merasa Iqbal orang yang membuatnya terus-terusan ingin bertemu. Sebelumnya ia tak pernah merasakan hal ini. Sampai detik ini juga, perasaan Iskandar terhadapnya tak ia ketahui. Yang ia tahu hanyalah memupuk perasaan terhadap Iqbal.

Cintanya bersambut. Iqbal merasa menang selangkah dari bosnya. Tapi, ia tidak berani untuk mengungkapkan perasaan tersebut. Ia khawatir pekerjaannya akan terancam, karena berani bermain perasaan dengan perempuan yang disukai oleh orang yang menggajinya. Perasaan Iqbal kian hari kian tumbuh beriringan rasa takutnya.

Slice of CakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang