Last Chapter

79 7 0
                                    

Iskandar’s POV

Aku tak pernah menduga sebelumnya akan terjadi tragedi kecelakaan yang menyebabkan perempuan yang kucintai menjadi korban. Ini semua adalah kesalahanku yang tak begitu hati-hati dalam menjaganya. Bisa-bisanya aku lengah, padahal aku berada di dekatnya. Yang paling menyakitkan lagi adalah saat Iqbal yang langsung terjun menyelamatkannya. Di situ aku malah kebingungan, takut juga. Lalu, aku langsung berlari menuju tempat mobil terparkir untuk mengambil tandu dan obat-obatan. Aku merasa lemah dan bodoh sekali. Penakut pun iya. Harusnya aku yang menyelamatkan Nabila.

Air mataku tertahan saat melihat Iqbal menggendongnya dan dibantu oleh Danial juga. Saat itu Nabila sudah tak sadarkan diri pasca tubuh mungilnya terpental menabrak pohon, akar, dan bebatuan di jurang. Beruntungnya tak ada luka serius di tubuhnya.

Rencana yang sudah kususun sebaik mungkin, harus berakhir jauh dari ekspektasi. Aku terduduk di dekat ranjang rawat rumah sakit, menatap Nabila yang tengah terbaring. Ia masih tak sadarkan diri. Infus terpasang di tangan kirinya, luka-luka sudah diobati. Aku sungguh menyesali rencanaku ini, karena Nabila yang harus menanggung kesakitan.

Danial dan Iqbal datang ke ruangan tempat Nabila dirawat. 2 orang yang sudah cukup lama kukenal itu berpamitan pulang, Iqbal pun sudah diobati oleh seorang perawat di IGD tadi. Dari sorot mata sendu Iqbal aku menangkap sinyal-sinyal tak biasa terhadap Nabila. Aku mengkhawatirkan bahwa itu pertanda cinta. Sebab tanpa rasa takut dan mencemaskan diri sendiri ia nekat turun dengan lincah melewati jurang tersebut. Lantas, bagaimana denganku? Apakah cintaku benar-benar tulus untuk Nabila? Tapi, percayalah, aku sungguh mencintainya. Untuk menebus semua rasa bersalah itu, hampir semua waktuku kualihkan untuknya. Kurawat Nabila selama masa pemulihan, bahkan saat ia sudah bisa beraktivitas aku tak membolehkannya bergerak sendiri.

Saat pertemuan dengan Iqbal di rumah sakit ketika ia berpamitan, setelah itu pula ia tak muncul-muncul lagi seperti hilang ditelan bumi. Aku sempat mencari-cari kabarnya, seminggu ia menghilang, lalu datang kembali menemuiku hari ini.

Sebenarnya aku sempat merasa senang dengan cara ia menghilang sendiri, sehingga aku tak perlu merasakan persaingan, meskipun kutahu bahwa di akhir akulah yang akan memenangkannya.

“Hai, Bal, apa kabar?” sapaku ramah sambil membalas jabatan tangannya.

“Baik, Bang,” jawab Iqbal singkat sambil menempatkan tubuhnya di kursi di hadapanku.

Aku mengangguk. “Oh, ya, mau minum apa?”

“Nggak usah, Bang. Saya cuma sebentar aja kok.”

“Ya, udah, kalo gitu silakan apa yang mau lo sampein.” Aku mempersilakannya untuk menyampaikan apa maksud pertemuan hari ini.

Iqbal menatapku, lalu ia menempatkan kedua tangannya di atas meja. “Mohon maaf sebelumnya, Bang, tiba-tiba saya menghilang tanpa kabar. Belakangan ini saya lagi sibuk menyiapkan diri untuk ke Kyoto. Saya diterima bekerja di sana. Maafkan saya yang tiba-tiba menghilang tak bertanggung jawab dengan pekerjaan.” Ucapnya sopan sekali.

Aku mengangguk-angguk memahami perkataannya. Aku menerima semua permintaan maafnya, walaupun ada satu hal yang membuatku jengkel.

“Oke, Bal, nggak apa-apa. Gue udah maafin, by the way, selamat atas pekerjaan barunya,” balasku.

“Terima kasih banyak, Bang. Oh, iya, gimana keadaan Nabila sekarang?” dengan nada yang hati-hati ia menanyakan itu padaku.

Sepersekian detik aku sempat terdiam. Rasanya enggan menjawab pertanyaan itu. Untuk apa ia menanyakan perempuan yang sudah jelas ia ketahui adalah milikku.

“Bang?” Iqbal memanggilku dan membuatku tersadar untuk segera menjawab pertanyaannya.

“Ah, sorry, Nabila baik-baik aja, udah mendingan dari yang kemarin. Btw, terima kasih, ya, sudah menyelamatkan Nabila,” jawabku sembari diiringi perasaan yang tidak enak setiap mengingat Iqbal yang berkorban untuk menyelamatkan Nabila. Seharusnya itu aku.

“Sama-sama, Bang. Saya ikutan seneng kondisi Nabila udah baikan. Oh, iya, ada satu lagi yang mau saya sampaikan.”

Aku menatap Iqbal dengan rasa penasaran. Apa lagi yang akan ia sampaikan padaku? Atau dia mau mengatakan tentang perasaannya terhadap Nabila? Ah, tidak-tidak.

“Apa itu?”

Iqbal mengulum senyumnya. “Semoga Bang Iskandar dan Nabila bahagia. Saya yakin Abang bisa membahagiakannya.” Nada bicaranya terdengar dalam sekali.

Yang ia katakan adalah sebuah doa dan harapan. Setelah mengatakan kalimat tersebut, ia berpamitan padaku dan menyampaikan rasa terima kasih sekali lagi. Aku hanya dapat membalasnya dengan anggukan dan senyum. Aku tentunya tidak begitu paham apa yang dirasakan Iqbal, namun aku rasa ia cukup hebat karena telah berbesar hati. Apabila aku di posisinya, mungkin aku takkan bisa seperti itu. Saat ini pun, aku tengah tak siap patah hati jika Nabila menolak lamaranku nanti. Namun, satu hal yang perlu kugarisbawahi, Iqbal menitipkan kebahagiaan Nabila padaku.

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Nur Taqiyyah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” dengan lugas dan lantang kuucapkan sederet kata-kata sakral tersebut. Meskipun kegugupan tak dapat kuhindari, namun prosesi inti ini dapat kulalui tanpa harus mencoba berulang kali melakukannya.

Rasa syukur keluarga dan tamu undangan tercurah saat akad sudah dilaksanakan. Wajah-wajah bahagia itu dapat kusaksikan, lalu mataku tak dapat beralih pada sosok yang cantik nan anggun dalam balutan putih-putih serta polesan make up yang pas. Kecantikannya bertambah berkali-kali lipat dibanding hari biasa. Aku sungguh terpesona.

Dengan penuh rasa cinta kugenggam tangannya, lalu berjalan bersama menuju pelaminan. Kukecup keningnya, lalu ia mencium punggung tanganku. Kurasakan energi besar tersalur saat sentuhan itu. Kini, aku dan Nabila sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Kekhawatiranku yang tak siap patah hati sudah sirna. Cintaku disambutnya. Aku berjanji akan mencintai dan membahagiakannya sepenuh hati. 

“Aku cinta kamu, Nabila,” bisikku pelan dan romantis.

Nabila tersenyum dengan tersipu, ia membalas tatapanku dengan hangat. “Terima kasih sudah mencintaiku, Iskan,” balasnya dengan nada yang lembut.

Ini adalah awal dari segala apa yang telah dimulai.

Diakhiri pada bab ini. Semoga cukup, ya. Terima kasih sudah membaca dan memberikan dukungan ❤️

Nantikan karya saya selanjutnya, insya Allah next Paul Nabila x Insomniacks ✨️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Slice of CakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang