Bab 4

46 6 0
                                    

Awh…” Iqbal mengaduh saat luka-lukanya dibersihkan. Ia sendiri tak menyadari bahwa di tubuhnya sudah tergores luka terkena akar pohon, dahan, lainnya. Saat menuruni jurang yang ada di pikirannya hanyalah menyelamatkan Nabila. Ia sendiri tak mempedulikan dirinya. Saat dibersihkan dan diobati inilah ia baru merasakan sakit.

Danial menatap Iqbal dengan tatapan agak gemas. Ia merasa lucu dengan temannya ini. Saat di jurang ia tak merasakan sakit sama sekali, namun saat diobati di rumah sakit ia malah kesakitan.

“Sakit, Bal?” tanya Danial sambil berdiri melipat tangannya di dada.

Iqbal mengangkat wajahnya menatap Danial. “Iya, lumayan,” jawabnya singkat lalu kembali meringis untuk yang ke sekian kalinya.

Danial tertawa kecil. “Baru berasa sakitnya, ya? Tadi lu kayak ninja aja, sat, set, sat, set, nurunin jurang. Nggak ada takut-takutnya,” balas Danial sambil geleng-geleng kepala, namun ia salut pada Iqbal.

Iqbal pun turut tertawa, ia pun menyadari bahwa tadi aksinya cukup heroik. Namun, ia tak mau melabelinya dengan sok pahlawan. Yang ada di pikirannya hanyalah menyelamatkan Nabila. Lalu, ia teringat dengan kondisi Nabila yang berada di ruang rawat. Gadis berhijab itu tengah tak sadarkan diri, namun kondisinya baik-baik saja. Iqbal bersyukur sekali saat mendapati kabar tersebut.

“Lo suka kan sama dia?” tanya Danial sejurus dengan suara yang pelan dan kecil.

Iqbal terpaku sesaat ia terdiam. Memang selama ini sebenarnya Danial sudah tahu gerak-gerik dirinya yang nampak menaruh rasa terhadap sahabat atasan mereka. Kemudian, seulas senyum tipis tersemat di wajahnya.

“Iya, gue suka sama dia,” jawab Iqbal.

Danial tersenyum mendengar jawaban Iqbal. “Tapi Bang Iskandar cinta banget sama dia, lo sendiri gimana?”

Iqbal menghela napasnya sejenak. Rivalnya bukanlah sosok yang biasa-biasa saja, tampan, kaya, dan pintar. Ia juga dikenal sebagai orang yang sangat baik kepribadiannya. “Cinta itu nggak harus memiliki, ya, nggak sih?” Iqbal melihat Danial sejurus menunggu tanggapan terhadap pernyataannya.

Danial mengangkat kedua bahunya. “Who knows, kadang nggak juga, Bal.”

Iqbal tertawa singkat. “Tapi aku tahu diri, Dan.”

“Hah?” Danial tak mengerti maksud pembicaraan Iqbal barusan.

Iqbal mengibaskan tangannya ke udara pertanda tak perlu membahas lebih dalam dari perkataannya.

Selesai diobati, Iqbal langsung keluar dari ruang IGD. Ia dan Danial berjalan menuju ruang rawat tempat di mana Iskandar berada. Laki-laki itu tengah menunggui gadis pujaannya yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Setiba di ruangan itu, mereka berdua langsung berpamitan pulang. Iskandar telah memastikan bahwa semuanya baik-baik saja saat kedua teman dan karyawannya ini izin pulang.

Malam itu setelah hujan deras berlalu, setelah sebulan lebih mengenalnya. Sebuah keputusan dibuat dengan perasaan yang mengalah. Iqbal merasa dirinya begitu pengecut tak bisa dan tak berani mengungkapkan apa yang ia rasakan. Ia pun memilih untuk melanjutkan hidupnya ke level yang lebih. Sebuah pilihan yang ia ambil. Berada jauh dari sini. Meskipun begitu berat.

Pasca tragedi di jurang itu sudah berlalu, ia memilih untuk menghilang sejenak dari hiruk pikuk perasaan yang terus menggerusnya. Rasanya tak sanggup terus berada di sekitarnya, sedangkan sudah ada laki-laki lain yang sangat siap mendampingi hidupnya. Akses komunikasi ia putus sementara, meski rindu selalu mendera. Ia sebenarnya ingin tahu bagaimana kabar Nabila, dan bagaimana senyumnya hari ini.

Sudah 2 bulan berlalu, selama itu pula ia terus menahan dan akhirnya terbiasa dengan perasaan yang hampa. Setelah semua terasa cukup, lalu ada hal yang harus disampaikan sebelum terlambat. Sebelum label pengecut semakin merongrong dirinya. Segenap keberanian ia tekatkan, tangannya meraih benda pipih nan canggih itu. Jemarinya mengetikkan sebuah pesan pada kontak yang sudah dibuka kembali aksesnya. Setelah mengirimkan sederet kalimat, tak perlu menunggu lama centang biru itu sudah muncul. Senyum tipis tersemat di wajahnya.

***

2 bulan kemudian, setelah lamaran Iskandar diterima. Mereka berdua tengah menyiapkan pernikahan sembari tetap bekerja seperti biasa. Begitu pula keberadaan Iqbal yang belum nampak batang hidungnya. Di cafe pertanyaan akan Iqbal masih terus bergulir. Sama-sama tak tahunya, sedangkan Nabila memilih menutup telinga meski hatinya terus saja bertanya.

Nabila tengah bersantai di atas tempat tidurnya, setelah selesai mengecek hal-hal terkait pernikahannya. Jempolnya menggeser-geser layar ponsel melihat apa saja yang tersaji di sosial media. Tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Dari pop up notifikasi ia membaca pesan yang tertera di sana. Tahu siapa yang mengirim ia langsung membuka pesan tersebut. Ada rasa rindu yang selama ini tertahan.

Hai, Nab, maaf sudah mengganggu dan menghilang beberapa waktu ini. Ini aku Iqbal, gimana kabar kamu? Semoga sehat selalu, ya. Satu lagi, aku selalu berharap bahagia menyertaimu.

Aku sudah dengar, kamu dan Bang Iskandar mau nikah, aku senang tahu kabar itu.
Oh, iya, Nab, bolehkah aku minta waktumu sebentar? Aku ingin bertemu, ada hal yang ingin aku sampaikan secara langsung. Tapi, jika kamu nggak bisa, it’s okay. Mungkin akan aku sampaikan dengan cara lain.

Nabila menegakkan punggungnya saat membaca pesan tersebut. Matanya berulang kali membaca dan melihat apakah semuanya benar. Ada rasa syukur saat mendapatkan sederet kalimat yang langsung dari Iqbal.

Alhamdulillah kabarku baik, Iq. Aku sempat menyesalkan kamu yang tiba-tiba hilang, padahal aku ingin berterima kasih sama kamu. Lalu, gimana kabar kamu? Kamu sekarang kerja di mana?

Ya, kurang dari 2 minggu lagi aku dan Iskan akan menikah. Kapan itu? Aku akan luangkan waktu walau cuma sebentar.

Jemari Nabila mengetikkan pesan balasan itu diiringi dengan getaran. Hatinya tiba-tiba kembali pada beberapa waktu yang lalu membuatnya merasakan hal yang berbeda. Ah, Nabila ingin menampik perasaan itu. Sekarang ia adalah calon istri Iskandar, ia harus menjaga perasaannya dari siapapun.

Setelah mengirimkan pesan balasan, ia menyandarkan punggungnya di dinding. Menghela napas perlahan, hampir saja ia meneteskan air mata yang tertinggal saat Iqbal menyelamatkannya. Memori itu kembali berputar, lalu beranjak pada malam hujan yang berakhir di busway.

Dengan sigap Nabila bangkit berjalan menuju kamar mandi. Sesampai di sana, ia mengusap wajahnya dengan air kran wastafel. Dinginnya air sedikit mengusir rasa-rasa yang dulu sempat hadir. Setelah itu, ia kembali lagi ke kamar. Di notifikasi ponselnya terdapat sebuah pesan dari Iskandar.

Selamat istirahat, Nabilaku. Jangan berlelah-lelah, ya.

Slice of CakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang