Bab 5

43 7 0
                                    

Siang tak begitu terik, udara ruangan cafe buku terasa sejuk. Koleksi buku yang tertata rapi di rak menawarkan sejumlah judul yang sempat menarik perhatian laki-laki bertopi. Ia mengambil sebuah buku, lalu duduk sembari menunggu pesanannya dan juga seseorang yang telah mencuri hatinya.

Jemari Iqbal menekuri sampul buku dengan desain yang sederhana, namun menarik. Ia membuka lembar pertama membaca kata pengantar yang berisi ucapan terima kasih atas terbitnya buku tersebut. Selain isinya, ia juga menyukai membaca bagian tersebut. Perasaannya siang ini cukup campur aduk, namun ia berusaha mengimbanginya. Ia tak ingin nampak terluka, justru ia ingin menguarkan kebahagiaan atas bahagianya orang yang ia cintai.

Sebuah cheese cake dan vanilla latte sudah tersaji di meja. Ia tentu tak lupa dengan kue-kue yang pernah ia hadiahkan pada Nabila. Sepotong cheese cake siang ini adalah potongan terakhir yang akan ia beri. Beberapa halaman buku sudah terlewati, lalu pintu berdenting masuklah orang yang ia tunggu.

Canggung.

Pertemuan pertama setelah 2 bulan itu berlalu. Senyumnya masih hangat meskipun kecanggungan tak elak dirasakan. Ia dan Nabila duduk berhadapan.

“Hai,” sapa Iqbal halus dan sopan.

Nabila tersenyum membalas sapaan Iqbal.

“Apa kabar? Gimana luka-luka yang kemarin?” Iqbal kembali teringat bagaimana ia dengan nekat turun ke jurang.

“Aku udah baikan. Sebenarnya, dari kemarin-kemarin aku mau ngucapin terima kasih sama kamu, tapi kamu tiba-tiba hilang. Kontakmu pun nggak bisa dihubungi,” jawab Nabila matanya memberikan tatapan tulus. Jemarinya saling meremas.

Iqbal membalas tatapan itu, meski ia merasa bersalah karena telah menghilang secara tiba-tiba.

“Maaf. Maaf aku sudah menghilang. Tujuanku bertemu sama kamu juga adalah menjelaskan alasanku yang menghilang waktu itu.” Perasaan Iqbal cukup campur aduk, ia menghela napas pelan.

“Aku nggak akan berlama-lama di sini sama kamu. Aku nggak enak sama Bang Iskandar.” Senyum simpul dikulumnya, lalu menyeruput sedikit minumannya.

Nabila terus menyimak diiringi perasaan yang kemarin sempat bertumbuh, kini malah mendesak ingin bernostalgia.

“Nabila,” sahut Iqbal pelan. Mata mereka bersirobok. “Pertemuan kita memang singkat, tapi semuanya bagiku terasa berarti. Terima kasih sudah mau berteman denganku yang hanyalah seorang laki-laki biasa tak berprivilege. Lalu, maafkan aku jika sudah kelewatan dalam perasaan. Aku cinta kamu.” Iqbal sedikit menunduk, ia tak sanggup menatap wajah Nabila. Ia merasa rasa cintanya itu adalah hal yang melampaui batas.

Nabila mengulum senyumnya. Ada perasaan lega saat mendengar penjelasan Iqbal. Selama beberapa waktu kemarin ia juga merasakan hal yang sama terhadap laki-laki di hadapannya itu. Walaupun perasaan itu harus dikubur dalam-dalam, melepaskan yang dimulai saja pun belum. Kini, ada Iskandar yang sudah meminangnya.

“Aku memilih menghilang, aku hanya ingin menenangkan perasaanku yang semakin meluap. Aku hanya akan sakit hati saat melihat Bang Iskandar melamarmu. Lalu, aku juga akan kerja ke Kyoto, aku diterima salah satu perusahaan di sana. Kurang dari 2 minggu lagi aku akan berangkat.” Iqbal merasa hal yang dilakukannya adalah sebuah pelarian. Berlari dari tanggung jawab terhadap perasaannya. Ia nampak seperti pengecut.

Deru pendingin ruangan, dentingan garpu, suara lembaran buku beradu menjadi satu mengisi keheningan di antara mereka. Nabila masih mencerna semua apa yang dikatakan Iqbal. Ia tak pernah menyangka bahwa perasaan itu tumbuh bersama-sama, tanpa keberanian mengungkapkan. Ia cukup terkejut dengan keputusan Iqbal yang akan bekerja jauh di sana, ke negeri sakura. Waktunya pun berbarengan dengan pernikahannya.

“Aku hanya ingin kamu tahu soal perasaanku. Aku tulus mencintaimu.” Keheningan terpecah, lalu bersambung lagi.

Nabila seolah kehabisan kata. Perlahan Iqbal melirik perempuan di hadapannya itu yang tengah menunduk, sedikit kegelisahan nampak di wajahnya.

“Iqbal, terima kasih sudah mengajakku bertemu. Terima kasih sudah menjelaskan semuanya. Aku sudah nggak bertanya-tanya lagi. Jujur saja, aku juga merasakan hal yang sama terhadapmu. Tapi, maaf, semuanya harus selesai, bahkan mulai pun belum.” Akhirnya Nabila mampu berucap membalas semua penjelasan Iqbal, meski dadanya cukup bergemuruh.

Iqbal tersenyum penuh haru menatap Nabila. Ia tak pernah menyangka bahwa perasaan mereka sama. Akan tetapi semuanya harus selesai, tak bisa saling bertepuk.

“Terima kasih untuk semuanya, Iqbal.” Setitik air mata jatuh tanpa permisi. Nabila tak kuasa menahan gejolak yang tengah menyerangnya.

Siang itu semuanya sudah terjawab, meski sakit dirasa, namun ada kelegaan. Semuanya sudah selesai, tak ada lagi hal yang mengganjal baik bagi Iqbal maupun Nabila. Mereka mencoba merelakan cinta yang bahkan belum mulai.

***

Akad sudah terlaksana, janji suci telah mengikat Iskandar dan Nabila. Keduanya resmi menjadi sepasang suami istri. Perasaan Nabila yang kemarin sudah berlalu, ia berdamai sekuat tenaga. Dengan penuh rasa hormat ia mencium tangan Iskandar. Di dalam hatinya ia berjanji akan mencintai sahabat yang telah menjadi suaminya ini. Dengan penuh rasa cinta, Iskandar mengecup kening Nabila. Senyumnya merekah di antara kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan tak terlihat.

Langkah ringan Iqbal menapaki garbarata yang menghubungkan antara bandara dan kabin pesawat. Hari ini ia akan terbang ke Kyoto bertepatan dengan pernikahan Nabila. Dibantu oleh seorang pramugari ia telah menemukan tempat duduknya yang bersebelahan dengan jendela. Sebelum pesawat lepas landas, ia masih sempat membuka ponsel, di sana ia melihat potret bahagia Nabila dan Iskandar menjadi sepasang pengantin dalam balutan baju kurung. Foto itu ia lihat dari akun Danial. Tak lagi sesakit dan sesesak itu melihatnya, ia turut merasakan kebahagiaan. Baginya, melepas dan merelakan adalah sebuah keputusan besar, namun keberanian untuk mengakui ia miliki.

Seorang pramugari memberikan peringatan kepada penumpang untuk menonaktifkan perangkat elektronik. Iqbal langsung mengaktifkan mode pesawat pada ponselnya. Pesawat mulai bergerak melewati taxi way, run away, lalu mulai meninggalkan daratan perlahan dengan halus. Apa yang ada di permukaan bumi nampak kecil, semuanya bagai melambai memberi ucapan selamat tinggal. Iqbal mengulum senyum, semuanya sudah berlalu, hidup harus berlanjut.

Slice of CakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang