Bab 3

59 8 2
                                    

Seorang laki-laki tengah tertidur berbantal tangan di tepi ranjang rawat rumah sakit. Dengkur halusnya terdengar sampai ke telinga. Ada selipan lelah, khawatir, cemas, dan takut kehilangan menjadi satu. Rambut lebatnya yang lembut menjuntai mengikuti posisi kepala. Aroma sampo menguar kala tangan Nabila mengacak pelan rambut tersebut.

Iskandar terbangun, karena kondisi tidurnya yang siaga. Ia tersenyum saat mendapati Nabila sudah siuman. Rasa syukurnya meluap-luap.

“Nab…” perasaan Iskandar bercampur aduk, ia pun mengecewakan dirinya yang tak dapat menjaga Nabila dengan baik. Bahkan, rencananya pun harus buyar.

“Nab, maafin aku…” Iskandar sedikit terisak.

“Aku nggak apa-apa, tenang aja,” jawab Nabila menenangkan Iskandar.

Iskandar mengusap air matanya yang tahu-tahu sudah menetes. Ia bahagia dan bersyukur sekali.

“Oh, iya, Iqbal gimana?” Nabila teringat betul saat Iqbal berjuang menyelamatkannya. Ekspresinya pun terngiang di pikirannya. Raut kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, kepanikan, menjadi satu. Bahkan, kelopak matanya yang membendung air mata pun ia ingat. Sentuhan penuh kehati-hatian saat membersihkan luka-luka yang tergores di wajah dan tubuhnya. Tak dapat ia ungkapkan bagaimana perasaan saat itu.

“Iqbal udah pulang, tadi dia juga diobatin. Kondisinya baik-baik aja kok,” jawab Iskandar.

Nabila mengangguk. “Syukurlah kalo dia baik-baik aja.” Ada rasa ingin bertemu mengucapkan banyak terima kasih atas pengorbanan yang Iqbal lakukan untuknya. Lalu, memori yang menguar saat ia dan Iqbal di jurang kembali berputar. Nabila menghela napasnya, menahan perasaan. Sadar bahwa tak seharusnya terus menerus larut.

***

2 minggu sudah berlalu pasca kecelakaan tersebut. Kondisi Nabila berangsur pulih. Luka dan memar perlahan hilang. Ia sudah kembali ke aktivitas seperti biasa. Selama masa pemulihan Iskandar selalu berada di sisinya. Sembari merawat perempuan pujaannya, ia pun juga menahan rasa dan rencananya untuk melamar. Selama itu pula Iqbal tak ada kabar sedikit pun. Ia bagai hilang ditelan bumi. Nabila sempat menanyakannya pada Iskandar, namun jawabannya tidak tahu. Pekerjaan yang ditangani oleh Iqbal, kini dialihkan pada seorang karyawan sementara.

Iskandar menyendokkan nasi lengkap dengan sayur dan lauk untuk diberikan pada Nabila. Ia dengan sabar dan telaten menyuapi.

“Aku bisa makan sendiri loh, udah nggak sakit lagi tanganku.” Ucap Nabila, ia tak enak hati terus-terusan merepotkan Iskandar.

Iskandar menggeleng. “No. Ini udah tugas aku,” balasnya dilengkapi dengan seulas senyum tegas.

“Mah, suruh Iskan pulang aja, aku udah nggak apa-apa.” Kata Nabila pada Mamahnya yang tengah duduk tak jauh dari ia dan Iskandar. Saat ini mereka bertiga sedang berada di ruang keluarga apartemen Nabila.

Mamah tertawa renyah mendengar yang dikatakan anak semata wayangnya. “Nggak apa-apa, Nab Sayang, nanti Iskan pulang sendiri. Terus nanti malem ke sini lagi sama keluarganya,” balas Mamah malah membuat Nabila bingung.

Iskandar tersenyum-senyum mendengar apa yang dikatakan Mamah Nabila.

“Ada apa mau ke sini?” Nabila menatap Iskandar bingung.

“Liat aja nanti malem, aku mau nunjukin yang kemarin tertunda itu,” jawab Iskandar mantap.

Nabila tak membalas jawaban Iskandar. Ia teringat dengan perkataan laki-laki yang tengah menatapnya dengan hangat ini tempo lalu. Rasa penasaran kembali hadir tentang apa yang akan ditunjukkan, juga kenapa membawa keluarga. Nabila tak tebersit apapun di pikirannya, saat ini ia tengah berusaha untuk tidak memikirkan Iqbal yang hilang entah ke mana. Akses sosial media dan pribadi pun semua tak bisa. Iqbal benar-benar menghilang dari peredaran.

Selesai menyuapi Nabila, piring bekas makan tersebut langsung dicuci oleh Iskandar. Kemudian, ia pamit pulang. Nabila mengantarnya sampai di pintu masuk unit apartemennya.

Iskandar berdiri di depan pintu tepat di koridor. Ia menoleh pada Nabila sebelum melanjutkan langkah menuju lift.

“Nab,” panggil Iskandar halus.

“Ya?”

I love you,” jawab Iskandar dengan nada yang begitu halus dan romantis.

Nabila cukup kaget mendengar pernyataan Iskandar barusan. Ia tertawa kaku.

“Sampai ketemu nanti malam, bye…” Iskandar melambaikan tangannya, lalu ia berjalan menuju lift yang tak jauh dari unit apartemen Nabila.

***

Pertemuan 2 keluarga malam ini tengah berlangsung. Di hadapan mereka tersaji jamuan manis dan segar, yaitu kue dan buah-buahan. Iskandar berpakaian rapi, ia mengenakan kemeja bermotif kotak warna krem dipadu celana jins hitam. Di tangannya tersemat jam tangan pintar. Rambutnya disisir lebih rapi dibanding hari-hari biasa. Kedua orang tuanya pun sama tak kalah rapi.

“Ayah dan Mamah, kedatangan Iskandar bersama Mami Papi ke sini adalah untuk meminang Nabila. Saya sudah lama jatuh hati terhadap Nabila, dan saya rasa kami berdua cocok menjadi pasangan suami istri.” Ucap Iskandar lancar walaupun ia gugup. Matanya melirik Nabila, rasa malu pun tiba-tiba terbit.

Nabila mengangkat wajahnya menatap Iskandar yang juga tengah menatapnya dengan penuh cinta dan harap. Wajah tampan itu nampak berbinar dari biasanya. Seketika hati Nabila merasakan hal yang berbeda, ia cukup senang dengan berita bahagia yang dibawa Iskandar untuknya, namun perasaan lain yang menyesakkan masih menyelinap di sudut hatinya. Kehadiran Iqbal yang sebentar, namun tak luput dari memorinya.

Saat ini rasanya tubuh Nabila membeku, ia bingung harus bagaimana. Ia pun ingat ucapan cinta dari Iskandar saat siang tadi. Sahabatnya ini ternyata menaruh hati terhadapnya.

“Terima kasih atas kunjungan dan niat baiknya Iskandar serta keluarga. Kalau saya dan istri sebagai orang tua tergantung dengan Nabila, kami setuju saja, sebab sudah kenal lama dan baik sama ananda Iskandar. Kami rasa juga Iskandar bisa menjadi pasangan yang baik buat anak kami. Bagaimana, Bila?” Ayah melirik anak semata wayangnya yang duduk di tengah antara orang tuanya. Mamah pun turut melirik. Nabila tersenyum kaku, jujur saja ia merasakan kegugupan atas apa yang tengah dialami. Namun, lagi-lagi pikirannya tersangkut dengan sosok Iqbal. Hubungan mereka memang sebatas teman, namun di antaranya tumbuh benih rasa suka. Meskipun Nabila sendiri enggan menjelaskan apa yang ia rasakan. Kehadiran Iqbal yang tak lama, namun cukup berarti.

“Gimana, Nabila?” tanya Mami Weni–ibunya Iskandar.

Nabila beralih melirik Mami Weni, ia tersenyum. Lalu matanya bersirobok dengan Iskandar yang tengah menanti jawaban. Pikiran dan hatinya masih berkecamuk, namun ia tak boleh gegabah. Setelah ia ingat-ingat memang Iskandar selalu memberikan perhatian yang lebih untuknya, namun tak ia sadari cinta itu.

Nabila sedikit menundukkan kepalanya. Ia tengah berdiskusi dengan hati dan pikirannya. Sedangkan, Iskandar tengah harap-harap cemas menunggu jawaban. Ia sebetulnya tak siap patah hati apabila Nabila menolak lamarannya. Beberapa detik hingga hampir satu menit. Sempat ada pergolakan, namun akhirnya hatinya mantap memilih.

Sebuah anggukan menjadi jawaban atas permohonan cinta Iskandar terhadap Nabila. Rasanya pria berdarah melayu itu ingin bersorak ria bertepuk tangan. Ekspektasinya sesuai dengan realita.

Air mata Nabila menganak di pelupuk. Ia sebetulnya tak kuasa menahan rasa. Ia memilih melepaskan merelakan apa yang sebenarnya belum dimulai. Bayang-bayang Iqbal masih terus berputar, namun berusaha ia tampik. Ada kesakitan tersendiri saat memori memutar sosok itu.

Slice of CakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang