Episode 32

44 23 16
                                    

JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW, KRITIK DAN SARANNYA🔥
Typo, koreksi📌

●○●○●○

Matahari bersinar terik tepat di atas kepala. Siang yang begitu panas menambah jiwa dari seorang gadis yang berdiri di dekat taman semakin membara.

Outfit berwarna pastel dengan background taman hijau dan awan biru cerah di tambah senyuman yang tercetak jelas dari bibir tipis gadis itu adalah definisi perpaduan yang sempurna.

Masih bertahan di posisi berdirinya, berulang kali gadis itu mengecek jam di handphonenya. Sudah lima belas menit berlalu, tapi orang yang dia tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Peluh sudah membasahi dahi, pipinya pun tampak memerah karena panas.

Terlalu lelah berdiri, dia pun berjalan masuk ke dalam taman dan duduk di salah satu kursi. Meski cuaca hari ini begitu panas, tapi tetap banyak orang-orang yang berada di taman ini.

Dengan hati yang sudah berkecamuk, Nara menekan nomor paling atas, dia mencoba menghubungi orang itu.

"Pliss gue mohon, ayo angkat!" Sudah berulang kali dia menelepon nomor tersebut, tapi tidak ada jawaban dari sang pemilik nomor, padahal aktif.

Tangan mungilnya menggenggam benda pipih itu dengan erat. Kepalanya menunduk sehingga rambutnya yang tergerai indah itu jatuh menutupi pipinya yang memerah.

Rasa sesak yang dia tahan dari tadi, pada akhirnya pecah juga. Bulir-bulir bening mengalir dari mata yang terpejam erat menahan rasa sakit di dadanya. Tidak memperdulikan tubuhnya yang basah akan keringat, gadis itu menangis dengan suara tertahan sendirian di bawah terik matahari di taman yang ramai.

ʕ •ᴥ•ʔ

Mata sayu yang tertutup cukup lama akhirnya terbuka perlahan. Dengan malas, Nara bangun dari tidurnya. Ruangan dengan pencahayaan minim menyapa indra penglihatannya. Dia sengaja tidak menyalakan lampu kamarnya karena suasana hatinya sedang buruk, itu adalah kebiasaan yang sering dia lakukan.

Ketika dia menatap pakaian yang dia kenakan, rasanya dia ingin kembali menangis, Nara tidak pernah sekecewa ini sebelumnya. Bukan karena gagalnya rencana kencan yang telah dia rancang, tapi dia kecewa karena Razka tidak menghubunginya. Setidaknya jika dia tidak bisa, tolong kabari dirinya.

"Akhirnya hari ini gue sadar, kalau gue bukan prioritas lo," lirihnya. Nara sadar, jika hubungan tanpa status di antara dia dengan Razka, hanya dirinya lah yang selalu antusias sendirian.

Dadanya terasa sesak. "Bahkan, gue sering bertanya-tanya, sebenarnya perasaan lo ke gue itu beneran atau enggak? Kenapa sikap lo mencerminkan sebaliknya?" Nara mengeluarkan unek-uneknya seakan ada Razka di hadapannya.

Nara menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak, enggak! Pasti Razka beneran suka sama gue, cuman dia gak tau cara nunjukinnya." Dia berusaha menghibur hatinya yang sekarang benar-benar gundah. "Pasti hari ini dia lagi sibuk, sampai lupa sama janjinya dan lupa ngabarin gue."

Tapi meski Nara sudah mencoba menghibur dirinya, tidak dapat dipungkiri bahwa hari ini dia benar-benar kecewa.

Kemarin, saat Razka mengajaknya berkencan dia sangat senang, sangking senangnya dia sampai tidak bisa tidur, karena otaknya tidak mau berhenti merancang skenario, membayangkan hal-hal romantis. Tapi, saat hari ini tiba, semuanya hancur.

"Kalau lagi sedih bawaannya pengen ganggu Dhara." Raut mukanya tertekuk mengingat sahabatnya yang sedikit berubah akhir-akhir ini. "Kangen banget sama burung Dhara, pengen ke rumahnya, tapi males."

Detik dan DetaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang