Kelas telaah drama dan teater sedang berlangsung, tentu saja Neysha tidak fokus pada materi. Dia sibuk memperhatikan sosok dosen yang sedang mengajar. Setiap kelas yang diajarkan oleh Devan, Neysha selalu mengambil tempat duduk di bagian paling depan, tepat berhadapan dengan meja dosen.
"Neysha," panggil Devan dan yang dipanggil panik kelabakan. "Kamu tau apa itu Deus Ex Machina?"
"Hm—" Wajah Neysha tampak berpikir dan mengingat sesuatu. "Merek topi, Pak?" Dia menjawab itu karena pernah melihat teman sekelas semasa SMA-nya sering memakai topi dengan cetakan tulisan 'Deus Ex Machina'.
Dosen itu tersenyum mengangguk. "Tidak salah, memang ada brand dengan kalimat itu, tapi asalnya—" Jantung Neysha berdetak tak karuan lagi.
“—Deus Ex Machina itu istilah dalam teater, yang merupakan sebuah solusi dalam cerita yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik. Biasanya dalam cerita fiksi, tiba-tiba muncul sesuatu atau karakter baru—tanpa alasan dan pengenalan—untuk menyelamatkan karakter utama. Tiba-tiba muncul dan masalah selesai—"
Dosen itu memberikan penjelasan lebih dalam lagi, memberikan contoh penulisan yang lemah dan penggunaan yang tepat untuk memunculkan solusi dalam suatu cerita. Deus Ex Machina tidak dilarang untuk digunakan, tetapi dengan penulisan yang benar dan masuk akal dalam cerita.
Selagi menyimak, muncul rekaman-rekaman singkat kejadian yang Neysha lihat kemarin sore. Untuk beberapa hari ke depan, rekaman itu akan terus terputar ulang di otaknya.
“Ketika sedang mengajar saja, dia terlihat tampan dan penuh gairah apalagi melakukan hal yang lain seperti kemarin,” pikir Neysha.
Saat ini jika seseorang masuk ke dalam pikiran Neysha, orang itu akan melakukan hal yang sama seperti yang Kana lakukan, yaitu menyadarkan perempuan itu dengan cubitan-cubitan kecil.
Waktu satu jam 40 menit terasa singkat bagi Neysha, rasanya baru 10 menit berlalu. Dia bisa bertemu lagi dengan Devan di kelas pada Rabu berikutnya. Namun, dia masih berkesempatan bertemu dengan Devan di luar jam kelas untuk bimbingan artikel ilmiah.
Para mahasiswa satu persatu keluar kelas, beberapa mengucapkan terima kasih, lalu berjalan keluar. Neysha sengaja melambatkan gerakannya memasukkan barang ke dalam tasnya, tidak lupa kembali mengecek botol minumnya.
"Neysha, saya boleh bicara sebentar sama kamu?" tanya Devan yang sedang fokus dengan laptopnya.
Neysha langsung mendongak dan mengangguk cepat. "Boleh, Pak, boleh."
Temannya, Kana seakan mengerti apa maksudnya itu dan akan menunggu Neysha di luar kelas. Kana keluar bersamaan dengan satu mahasiswi yang baru selesai juga merapikan barangnya. Dia juga menutup pintu kelas tersebut.
"Gini." Devan mengalihkan pandangannya dari laptop dan melepas kacamata bacanya. "Soal kejadian kemarin, kamu gak cerita ke siapa-siapa 'kan?"
"Sa—saya cerita ke Kana sih, Pak," polos Neysha menampilkan senyuman kecilnya.
"Kamu bisa jamin dia gak cerita ke siapa-siapa?""Dia gak bakalan cepu kok, Pak. Dia temen saya dari SMP. Saya sering kok ceritain aib-aib saya, tapi gak pernah dibocorin sama dia." Neysha cukup yakin dan omongannya itu bisa dipegang. Dia percaya dengan temannya itu. Bahkan mereka sangat jarang bertengkar meskipun berbeda penampilan, kesukaan dan gaya berpikir.
"Ya, semoga dia bisa dipercaya, ya," tenang Devan.
"Lagian kenapa bapak ngelakuin itu di kampus, emang gak takut ada yang liat?" Entah keberanian dari mana, Neysha melontarkan pertanyaan itu.
"Itu hadiah kelulusan. ‘Dia’ yang minta. Selama ini saya gak pernah berhubungan di wilayah kampus, kebetulan kemarin pertama kalinya dan ketahuan sama kamu." Devan tertawa pelan, seperti bukan masalah baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SDM: Sebatas Dosen dan Mahasiswa
RomanceTak sengaja melihat hal tak senonoh yang dilakukan oleh dosen idamannya di kelas, justru semakin menaikkan obsesi Neysha kepada dosen tersebut. Apapun akan dia lakukan untuk bisa berdekatan dengan dosen itu. Harga dirinya bukan lagi ditawar, melai...