4. Perasaan Malu Menyerang Bertubi-tubi

167 4 0
                                    

Pagi yang cerah, langit biru tanpa awan beradu dengan sinar matahari yang perlahan muncul. Angin pun sejuk. Setiap orang menyambut hari dengan aktivitas masing-masing. Begitupun Neysha yang siap untuk ke kampus, kecuali Kana karena tidak ada kegiatan atau kelas yang harus dia ikuti.

Dua jam sebelum seminar dimulai, Neysha diharuskan berada di kampus. Dia berjalan kaki sendiri ke kampus sambil melihat teks yang dia siapkan sejak semalam. Berlatih sebelum acara seminar diadakan bahkan tak sempat untuk sarapan.

Sampai di aula tempat seminar akan berlangsung, terdapat rekan panitia yang lain. Mereka juga sedang bersiap sesuai dengan peran masing-masing. Saling bekerja sama untuk menghasilkan acara yang terstruktur dan berjalan dengan lancar.

“Mana teman lu yang tukang ngatur-ngatur itu? Belum dateng?”
“Udah lah biarin aja, Sha.” Firza saja terlihat memaklumi dan sudah terbiasa dengan kelakuan ketua yang tak pantas disebut ketua itu.

Satu persatu peserta seminar mulai berdatangan, melakukan registrasi ulang, kemudian diarahkan ke tempat duduk. Neysha memperhatikan pintu masuk dari sudut dekat podium dengan rasa tegang yang menyerangnya.

Sebelumnya, dia pernah menjadi pembawa acara atau moderator, tetapi dilakukan secara daring pada saat pandemi—tidak begitu membuatnya gugup dan grogi.

Ketika sedang memperhatikan peserta, Neysha refleks menegakkan tubuhnya dan merapikan dandanannya begitu melihat Devan yang berjalan melewati pintu masuk bersama empat dosen lain, termasuk dosen tamu yang menjadi pembicara seminar. Devan berbincang akrab dengan pembicara itu.

Neysha sedikit kelabakan karena tidak terpikirkan olehnya jika Devan akan menghadiri seminar tersebut. Sebisa mungkin dia merilekskan badannya. Rekan panitia yang lain mempersilakan para dosen dan sang pembicara untuk duduk di tempat yang telah disediakan di bagian depan serta memberikan sekotak camilan.

Tidak sengaja mata Neysha bertatapan langsung dengan Devan, kemudian dosen itu memberikan senyuman dan Neysha membalas dengan senyum yang tertahan. Setidaknya senyuman Devan sedikit mencairkan ketegangan dalam dirinya. Namun, dia tersadar bahwa dia akan ditonton oleh Devan—pertama kali bagi Neysha.

Pukul delapan lewat sepuluh menit, seminar pun dimulai. Neysha menarik napas pelan sambil tersenyum, kemudian mengucapkan salam pembuka.

“—dengan mengecupkan puji syu—eh—” Neysha terdiam sadar dengan kesalahannya.

Sebagian orang di aula itu tertawa mendengar kesalahan pengucapannya, termasuk para dosen yang hadir. Neysha melirik sedikit untuk melihat Devan yang juga sedang tertawa pelan.

“Saya ulangi—dengan mengecupkan—maaf.” Dua kali Neysha melakukan kesalahan yang sama, tetapi sebisa mungkin dia harus menyelesaikan dengan profesional meskipun tangannya gemetar.

Seperti tidak terjadi apa-apa, Neysha melanjutkan salam pembuka itu dengan lancar dan tenang. Ketika sang pembicara mengambil alih seminar, Neysha dengan berjalan cepat bergabung dengan Firza dan beberapa panitia yang lain.

Setelah perasaan tegang yang menyerangnya, kini perasaan malu mulai berdatangan. Belum lagi dirinya yang ditertawakan oleh para dosen. Ingin rasanya menenggelamkan diri dan pindah dari kampus ini.

Namun, untungnya tidak ada dosen galak seperti Bu Martini, kalau ada, habis dirinya jadi bahan perbincangan sampai tujuh angkatan baru.

“Tenang aja, Sha.” Untungnya lagi ada Firza yang paling akrab dan mengerti dirinya.

Seminar selesai, evaluasi pun berlangsung. Jujur saja Neysha merasa tertekan dan malas berurusan dengan ketua—yang satu tahun lebih tua darinya itu. Pasti kesalahan kecilnya akan dibesar-besarkan, sepertinya laki-laki itu cocok menggantikan Bu Martini.

SDM: Sebatas Dosen dan MahasiswaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang