"Kamu cinta banget kayaknya sama almamater sendiri," goda Devan yang merujuk kepada hoodie yang dipakai Neysha.
Neysha terlonjak mendengar bisikan Devan yang berada tepat di belakang telinganya. Belakang kepalanya menempel pada dada empuk Devan dan membuat jantungnya berdebar tak karuan.
"Pasti kamu belum makan ya? Jangan dibiasakan begitu—" Belum sempat Devan melanjutkan kalimatnya, langkah kaki seseorang terdengar dari arah tangga.
"Pak Devan mau makan malam apa?" tanya satu-satunya pegawai di toko itu dengan senyuman yang lebar dan cerah, sangat berbeda sekali dengan kondisi Neysha saat ini.
Neysha masih mempertanyakan keputusannya memilih tetap dengan Devan.
"Tunggu ya, nanti saya ke bawah." Devan pun menjawab tak kalah ramah.
Pegawai itu perlahan turun sambil melirik sekilas dengan pandangan mata ke samping ke arah Neysha seperti menunjukkan perasaan tidak senang dengan keberadaan perempuan itu.
Tatapan Devan kembali menatap sosok perempuan dengan tinggi sebatas dadanya.
"Kamu diam aja dari tadi, gak ceria kayak biasanya. Saya ajak ngobrol juga gak jawab-jawab." Devan masih menunggu sepatah kata dari Neysha.
"Bapak sering 'main' sama pegawai yang tadi itu?" Sungguh pertanyaan yang tidak terprediksi oleh Devan.
Devan terhenyak sebentar. "Kalau iya kenapa? Kamu cemburu?"
"Enggak, saya nanya doang," ketus Neysha dengan pandangan masih menatap luar jendela yang masih ramai dengan para pengendara.
"Saya pernah sekali, 'main' sama dia. Kenapa dia masih mau kerja di sini—padahal usaha saya sudah mau bangkrut—karena dia nungguin momen 'main' lagi sama saya."
Neysha memberanikan diri menegakkan tubuhnya dan menghadap Devan.
"Terus kalo misalnya kita jadi berhubungan, bapak bakalan tetep 'main' sama dia?" cecar Neysha sambil melipat dua tangannya di dada dengan nada seolah menantang Devan.
"Tentu gak dong, saya main sama dia aja waktu hubungan saya sama Ayana udah selesai. Waktu itu saya gak bisa gaji pegawai saya sendiri."
"Jadi—?"
"Iya, betul dugaan kamu."Agar pembicaraan mereka tenang dan jelas, Devan menyuruh Neysha untuk duduk di kursi dan memberikan kaleng minuman manis dari kulkas mini di ruangan itu.
Kondisi Neysha kembali normal menjadi dirinya yang cerewet dan banyak bertanya. Dia bertanya semua hal tentang ruko yang ditempati Devan sekarang ini dan kenapa pria itu memilih tinggal di sini.
Sementara itu, Devan dengan sabar menjawab satu persatu pertanyaan dari Neysha. Dia tinggal di ruko itu karena memang lebih nyaman dan lebih mudah memantau perkembangan bisnisnya yang sekarat. Dia memiliki sebuah rumah yang tidak jauh dari daerah ruko itu dan baru saja dia lunasi setahun yang lalu. Namun, menurutnya rumah itu terlalu hampa dan dingin jika ditempati seorang diri.
Devan juga menjelaskan bahwa orang yang tadi Neysha lihat bersamanya di kafe itu adalah teman sekolahnya dulu sekaligus calon investor bisnis Devan yg baru, tetapi belum dapat dipastikan apakah temannya itu bersedia atau tidak.
"Terus kita ini nantinya apa, Pak?" Pertanyaan Neysha mulai mengarah ke hubungan mereka yang akan terjalin.
"Jangan tanya kita ini apa. Saya sudah tua gak pantes kalau pacaran kayak ABG-ABG gitu. Udah bukan era saya lagi."
"Terus bapak mau badan saya doang?" pancing Neysha sedikit jengkel.
"Bukan gitu, emang kamu mau saya nikahin juga hari ini? Kalau saya sih bisa aja nikahin kamu sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SDM: Sebatas Dosen dan Mahasiswa
RomanceTak sengaja melihat hal tak senonoh yang dilakukan oleh dosen idamannya di kelas, justru semakin menaikkan obsesi Neysha kepada dosen tersebut. Apapun akan dia lakukan untuk bisa berdekatan dengan dosen itu. Harga dirinya bukan lagi ditawar, melai...