Hari itu, langit di desa masih biru jernih ketika Yeosang menyadari keputusannya telah bulat.
Di dalam rumah kayu sederhana yang sudah berdiri tegak sejak puluhan tahun, ia duduk di beranda, mendengarkan suara gemerisik daun dihembus angin sore. Tangannya menyentuh perutnya yang belum membesar, namun hatinya penuh dengan keberanian yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ia harus memberi tahu orang tuanya."Eomma, appa," ucapnya pelan di telepon, "aku akan tinggal di desa bersama keluarga Jongho sampai bayiku lahir."
Hening. Hanya desir angin yang ia dengar. Lalu, suara ibunya pecah, "Kau yakin, Yeosang? Desa? Bagaimana kalau kau kesepian di sana?"
Yeosang tersenyum, meskipun telepon di genggamannya tidak bisa menerjemahkan senyum itu. "Di sini aku aman. Tak ada kejaran sasaeng, tak ada keramaian kota yang penuh tekanan. Di sini, aku bisa berjalan di jalanan tanpa rasa takut. Udara desa ini bersih, dan keluarganya Jongho sangat baik, sangat mendukung."
Ibunya terdiam lagi, kali ini lebih lama. Akhirnya, suara berat ayahnya yang terdengar, "Kalau itu yang kau pilih, kami akan mendukungmu. Jaga dirimu, jaga cucu kami."
Selesai sudah satu tahap. Yeosang menarik napas lega. Namun masih ada panggilan lain yang harus ia lakukan. Agensinya.
"Tuan Kim," Yeosang memulai saat panggilan tersambung pada Hongjoong, "aku akan hiatus untuk tinggal di desa bersama keluarga Jongho selama masa kehamilanku."
"Apa kau yakin, Yeosang?" suara di seberang terdengar berat, namun ada nada pengertian. "Tapi kesejahteraanmu adalah yang utama. Jika itu membuatmu nyaman, lakukanlah."
Ketegangan yang sejak tadi bergelayut di dadanya mulai luruh. CEO-nya itu mendukung. Tak ada pertanyaan rumit, tak ada desakan.
Namun saat ia menelepon manajernya, nada suaranya berubah penuh kekhawatiran. "Yeosang, kau yakin tinggal di desa? Bagaimana dengan pakaianmu? Kehidupanmu yang dulu?"
Yeosang tertawa kecil, membayangkan wajah manajernya yang cemas. "Jangan khawatir, Seonghwa hyung. Aku bisa membeli baju di pasar desa. Lagipula, siapa yang peduli soal pakaian mahal di sini? Rumah orang tua Jongho nyaman, dan orang-orang di sini sangat ramah."
"Tapi, bagaimana jika baju-baju di pasar desa tak sesuai seleramu?" Manajernya tak menyerah, masih mencoba mencari celah.
"Hyung," jawab Yeosang dengan lembut, "aku tidak butuh baju mahal untuk bahagia."
Akhirnya, manajernya terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara takjub, "Aku kagum dengan sikapmu yang rendah hati, Yeosang. Kau pasti akan baik-baik saja di sana."
.
Hari-hari berlalu dengan tenang.
Setiap pagi, Yeosang keluar rumah, berjalan di antara sawah dan kebun, menghirup udara segar yang seolah menyembuhkan segala kekhawatiran di hatinya. Orang-orang desa mulai mengenalnya; senyum ramah dari mereka seakan menjadi pengantar selamat pagi yang selalu ia tunggu.
Jongho, yang menghabiskan waktu bersamanya selama beberapa hari pertama, kemudian harus kembali ke kota. Di ambang pintu rumah, dia memeluk Yeosang, suara hatinya penuh dengan kekhawatiran. "Aku akan pulang setiap bulan. Jangan khawatir, aku tak ingin ketinggalan satu pun momen perkembangan bayi kita."
Yeosang hanya mengangguk, matanya sendu namun penuh pengertian. "Kami akan menunggumu di sini, Jongho. Jaga dirimu baik-baik di kota."
Setelah kembali ke kota, Jongho memulai rutinitas barunya, bekerja paruh waktu di sebuah kafe sambil menyelesaikan ujian sekolahnya. Setiap lembar gaji yang ia terima, ia sisihkan sebagian untuk nanti dikirimkan ke Yeosang di desa. Namun suatu malam, saat menelepon, ia menyampaikan niatnya yang terdengar agak berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bless My Lucky Star ⭐ JongSang [▶]
FanficI bless my lucky star that we were both in the same position when we met For I can't help getting you as my brilliance bot!Yeosang Top!Jongho MPREG ©2020, ichinisan1-3