"Whoever hurts her, you will know the consequences." - Javriel Altezza.
Javriel, pemuda tampan dan dikenal cuek ke semua orang, tapi itu tidak berlaku untuk Aca-sahabat kecilnya. Sebisa mungkin, Javriel melindungi Aca dan tidak akan membiarkan orang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Halo, Ca," sapa seorang wanita paruh baya dengan make up tipis dan rambut digelung tersenyum melihat kedatangan Aca ke kafe.
"Hai, Kak. Maaf, aku telat. Tadi masih ada kelas," balas Aca membungkukkan badannya.
"Nggak papa, Ca. Aku paham kok gimana rasanya kuliah, apalagi jadwal kuliah cukup padat." Wanita bernama Ayunda mengelus kepala Aca. Ayunda sudah menganggap Aca sebagai adiknya sendiri.
"Ya udah, Kak. Aku ganti dulu," pamit Aca, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang ganti.
Aca bekerja di kafe dekat dengan kampusnya. Perempuan cantik itu sudah lama bekerja di kafe, mungkin sekitar enam bulan. Beruntungnya, orang tua Aca tidak melarang putrinya bekerja, asalkan tidak mengganggu belajar.
Orang tua Aca berasal dari keluarga berada. Walau dari keluarga berada, mereka tidak pernah sombong dan menunjukkan kekayaannya. Orang tua Aca tidak membatasi Aca melakukan apa pun, asalkan itu hal baik, tidak apa-apa.
Selesai ganti baju, Aca memakai apron, kemudian membuat pesanan pelanggan. Aca memang pandai dalam meracik kopi, persis seperti ibunya. Tidak ada yang meragukan kemampuan Aca, karena rasanya memang enak.
"Ca, aku boleh minta tolong?" tanya Dina—rekan kerja Aca.
"Minta tolong apa?"
"Tolong anterin pesanan pelanggan yang duduk dekat dengan jendela. Aku ada perlu, nanti balik lagi, kok," jawab Dina.
"Ya udah. Mana pesanannya? Biar aku anterin."
Dina memberikan nampan ke Aca berupa kopi dan dessert coklat. "Makasih banyak, Ca."
"Sama-sama."
Setelah Dina pergi, Aca mengantarkan pesanannya ke pelanggan yang dimaksud. Aca memang suka membantu orang lain. Maka dari itu, banyak yang menyukai kepribadian Aca.
"Silakan dinikmati, Kak." Aca meletakkan pesanan pelanggan di meja.
"Ma ... loh Aca? Ngapain lo di sini?" tanya perempuan sebahu dengan senyum meremehkan kepada Aca.
Aca memutar bola matanya malas menghadapi Nara. "Gue kerja," jawabnya sinis.
Nara tersenyum mengejek. "Wah, ngapain lo kerja di sini? Bukannya lo udah kaya? Atau, orang tua lo bangkrut dan udah jatuh miskin?"
Aca mengepalkan tangannya, merasa tidak terima dengan perkataan Nara. "Orang tua gue nggak bangkrut. Gue emang sengaja kerja di sini buat ngisi waktu luang."
Nara berdiri dari tempat duduknya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Aneh banget lo. Harusnya lo ke Bar buat ngisi waktu luang lo, atau layanan pria belang di luar—"
Plak!
Semua orang menolehkan kepalanya ke sumber suara setelah mendengar suara tamparan. Aca baru saja menampar pipi Nara sebelah kanan hingga memerah. Sungguh, Aca tidak suka ada yang berbicara buruk kepadanya. Aca tidak segan-segan melakukan apa pun jika perkataan dan perbuatan orang lain kepadanya buruk, asalkan tidak berlebihan.