□ 09 □

17 3 0
                                    

"Lo yakin mau kerja di kafe gue?" tanya Juna, pemilik kafe yang didatangi oleh Javriel dan teman SMA Javriel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo yakin mau kerja di kafe gue?" tanya Juna, pemilik kafe yang didatangi oleh Javriel dan teman SMA Javriel.

"Ya, gue yakin. Gue ingin ngisi waktu luang aja dan ingin punya tabungan sendiri. Nggak papa, 'kan?"

Juna menarik napasnya, merapikan rambutnya, menambah ketampanannya. "Ya, nggak papa, sih. Apa bokap lo tau kalau lo kerja? Gue—"

"Dia nggak tau. Plis, rahasiakan ini. Gue ingin hasilin uang sendiri."

"Oke, gue bakal jaga rahasia lo. Sekarang, lo boleh kerja," ucap Juna menepuk bahu temannya itu.

"Makasih, Jun."

Setelah kelas, Javriel pergi ke kafe temannya yang baru saja buka satu bulan yang lalu. Kafenya cukup ramai dan banyak pengunjung yang datang. Wajar ramai, karena di kafe Juna, semua menu lengkap dan harganya sesuai kantong mahasiswa pada umumnya.

Tujuan Javriel bekerja karena ingin menghasilkan uang sendiri. Javriel tidak ingin terus menerus bergantung dengan ayahnya yang selalu menuntut dirinya dan menyalahkan atas kematian ibunya. Javriel muak dengan sang ayah. Selain itu, Javriel ingin menyibukkan diri ketika hubungannya dengan Aca agak renggang. Sampai sekarang, Javriel tidak mengetahui alasan Aca menghindarinya.

Javriel selesai ganti baju barista. Ya, Javriel bekerja sebagai barista dan kebetulan barista sebelumnya resign, karena pulang ke kampung halamannya dan melanjutkan usaha restoran milik mendiang orang tuanya. Juna tidak asal pilih karyawan, dan Juna selalu mengetes kemampuan calon karyawannya itu. Kebetulan, Javriel bisa membuat kopi dengan citra rasa lezat.

"Jav, gue tinggal dulu, ya. Gue ada urusan," kata Juna ketika berpapasan dengan Javriel di samping meja barista.

"Oke. Hati-hati di jalan."

"Oke."

Setelah Juna pergi, Javriel memulai bekerjanya karena beberapa pengunjung sudah datang. Javriel berharap ini adalah awal yang baru dan bisa menghasilkan uang cukup banyak.

□○□

Aca membaringkan tubuhnya di ranjang seusai mengganti bajunya. Aca menatap langit-langit kamar dan bayang-bayang Javriel terlintas di pikirannya. Aca menarik napasnya. Jujur, ia merindukan Javriel, tapi mau bagaimana lagi. Aca ingin menjauh dan tidak ingin menyusahkan Javriel. Aca sadar kalau hubungannya dengan Javriel layaknya sepasang kekasih.

"Gue harap keputusan gue udah bener. Maaf, Javriel ..." lirih Aca.

Aca memejamkan matanya dan tidak lama, ia terlelap. Tubuhnya sangat lelah karena hari ini, jadwalnya padat dan waktunya berturut-turut.

□○□

Javriel baru saja tiba di apartemennya.. Javriel melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, menunjukkan pukul sembilan malam. Sebenarnya kafe Juna buka 24 jam, tapi Juna meminta Javriel pulang karena sudah malam. Juna selalu toleran dengan karyawannya, terutama yang masih menempuh pendidikan.

"Habis dari mana kamu? Kenapa baru pulang?" tanya Rasya, sang ayah yang ada di apartemen putranya, membuat Javriel kaget.

"Ngapain Papa di sini? Dari mana Ayah tau kata sandi apartemenku?"

Bukannya menjawab pertanyaan dari Rasya, justru Javriel bertanya kembali.

"Kamu nggak perlu tau dari mana Papa tau kata sandi apartemen kamu. Sekarang, jawab pertanyaan Ayah.. Dari mana kamu? Kenapa baru pulang?"

Javriel memutar bola matanya malas. "Bukan urusan Papa. Lagian Ayah nggak ada hak buat tau tentang hidupku. Ayah nggak pernah peduli dan selalu fokus ke wanita yang udah buat hubungan Ayah dan bunda renggang! Aku kira aku nggak tau kalau Ayah sering melakukan HS sama wanita jalang itu!"

Plak!

Rasya menampar pipi Javriel hingga sudut bibirnya berdarah. Rasya tidak segan-segan menyakiti siapa pun jika ada yang membuatnya kesal, termasuk putranya sendiri.

"Jaga ucapan kamu, Javriel! Ayah ngak pernah ngajarin kamu bicara nggak sopan sama orang yang lebih tua. Ah, Ayah tau, jangan-jangan mama kamu yang ajarin kamu buat lawan Ayah? Hah! Wajar aja, wanita itu cepet mati, ternyata ngajarin putranya untuk lawan ayahnya sendiri."

Javriel mengepalkan tangannya, tidak terima dengan perkataan Rasya. "Ayah, nggak usah bawa-bawa mendiang bunda. Bunda nggak pernah ajarin aku buat lawan Ayah. Aku kayak gini karena ulah Ayah sendiri. Ayah berhak untuk dapetin ini! Dan, aku kira aku nggak tau kalau Ayah sering main fisik ke bunda. Ayah jahat. Ayah biadab!" teriak Javriel.

Bugh!

Rasya memukul wajah Javriel hingga tersungkur ke lantai. Javriel hendak berdiri, tapi Rasya langsung menjambak rambut Javriel hingga mendongak ke atas. Sudut bibir Javriel berdarah.

"Ayah nyesel punya anak pembangkang seperti kamu!" teriak Rasya di depan wajah putranya.

"Bunuh aja aku, Yah kalau Ayah nyesel punya anak kayak aku! Biar aku susul bunda!"

Rasya semakin murka, ia menendang wajah Javriel menggunakan sepatu hitam hingga hidungnya berdarah. Tidak sampai di sana, Rasya menendang perut, menjambak Javriel tanpa peduli kondisi putranya.

"Rasya! Berhenti!" teriak seseorang yang tidak sengaja datang ke apartemen Javriel untuk memberikan kue bolu, kesukaan Javriel.

"Tante ... Airin ..." lirih Javriel ketika melihat Airin, ibu Aca ada di apartemennya.

"Jangan ikut campur urusanku sama anak pembangkang ini. Aku ingin buat dia nyusul bundanya, sesuai keinginannya! Pergi kamu, Rin!"

"Kamu gila, Sya. Dia anak kamu satu-satunya. Javriel hanya punya kamu aja di keluarga ini. Aku kira kamu bisa jaga Javriel dan sayangi dia sesuai permintaan terakhir istrimu. Aku nggak nyangka sama kamu. Biadab. Keterlaluan!"

"Kurang ajar kamu, ya." Rasya hendak menampar pipi Airin sebelum seseorang menahannya dan melayangkan satu pukulan ke wajah Rasya. Dia adalah Sean, suami Airin.

"Jangan pernah kamu sentuh istriku. Lebih baik kamu pergi sebelum aku panggil polisi!"

"Sial," umpat Rasya, dan memutuskan untuk pergi dari apartemen.

Sean dan Airin menemui Javriel yang sudah lemas. Kondisinya jauh dari kata baik.

"Jav, ayo Om anter ke rumah sakit," kata Sean.

"Nggak perlu, Om. Diobati aja di rumah. Om tau kalau aku benci sama rumah sakit sejak bunda meninggal ..." lirih Javriel.

Sean menoleh ke istrinya, lalu mendapatkan anggukan dari Airin. "Ya udah kalau itu, ayo ke rumah Om sama tante juga, sekalian diobati luka itu."

"Nggak usah, Om. Aku nggak mau nyusahin Om sama tante."

Airin mengelus rambut Javriel. "Sejak kapan kamu nyusahin? Kamu itu udah kita anggap sebagai keluarga, bahkan kita juga teman dekat mendiang bunda kamu. Nurut, ya, sama kita? Tante obati kamu di rumah."

"Baik, Tan."

Mau tidak mau, Javriel menerima tawaran Airin dan Sean. Sebenarnya Javriel tidak ingin ke rumah mereka, tapi karena mereka sudah mengajaknya, jadi ia mengiyakan. Selain itu, siapa tahu ia bisa berbaikan dengan Aca.

 Selain itu, siapa tahu ia bisa berbaikan dengan Aca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jav & Aca | Jeonghyeon - ChaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang