□ 14 □

19 3 0
                                    

Btw, aku udah update bab sebelumnya. Silakan yang mau mampir ke bab sebelumnya 😊😊😊

 Silakan yang mau mampir ke bab sebelumnya 😊😊😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dokter Ardian selesai mengobati tangan Javriel. Luka di tangan Javriel agak parah dan hampir infeksi, jika tidak langsung dibawa ke rumah sakit. Javriel mengucapkan terima kasih kepada dokter Ardian, lalu keluar dari ruang periksa. Aca yang sedang duduk di kursi, lantas ia berdiri dari kursi saat Javriel keluar dari ruang periksa.

"Gimana? Apa kata dokter? Nggak bakal di amputasi, 'kan?" tanya Aca terlihat khawatir. Selama perjalanan ke rumah sakit, Aca ingin menangis, melihat tangan Javriel terluka.

"Nggak papa. Kata dokter, ini hanya luka biasa. Cuma setiap selesai mandi, perbannya diganti. Makasih lo udah bawa gue ke rumah sakit," jawab Javriel dengan nada dingin. Hal tersebut, membuat Aca sakit hati.

Aca menghela napasnya. Ia bersyukur, karena Javriel tidak kenapa-napa. Ia merasa bersalah dengan Javriel dan menyebabkan Javriel terluka.

"Jav, sori. Gue udah buat lo luka. Kalau gue bisa lawan pria itu, mungkin lo nggak akan terluka. Harusnya gue jadi perempuan, harus kuat, tapi gue malah libatin lo sama masalah gue. Gue merasa bersalah sama lo, Jav." Aca menundukkan kepalanya, takut menatap mata Javriel.

Javriel menarik dagu Aca, kini keduanya saling menatap satu sama lain. "Ini bukan salah lo. Gue dan Nara kebetulan denger suara lo, jadi gue langsung nemui lo. Gue nggak masalah kalau gue yang luka, yang penting lo nggak. Ayo pulang. Pasti om Justin udah nyariin lo," ucapnya tetap dengan nada tidak bersahabat.

"I—ya, Jav. Gue ... yang nyetir."

Aca membantu Javriel berjalan ke parkiran rumah sakit. Diam-diam, Javriel menatap Aca. Jujur, Javriel sangat merindukan hari-harinya bersama Aca, tapi Aca memilih menjauh dan lebih dekat dengan Bastian. Javriel tidak suka ada orang lain yang dekat dengan Aca, terutama seorang lelaki. Bukannya apa, Javriel takut Aca dipermainkan, mengingat Aca masih polos.

Selama di jalan, suasana agak canggung, hanya ditemani lagu ballad. Aca sibuk menyetir, sementara Javriel menatap jalanan. Javriel tidak tahu bagaimana menjelaskan ke ayahnya, jika suatu hari, sang ayah datang ke apartemennya.

Tak lama, Aca tiba di apartemen Javriel, lalu turun dari mobil, membantu Javriel menuju unit apartemennya. Suasana di apartemen Javriel, cukup sepi, mungkin sudah pukul sembilan malam.

"Jav, istirahat, ya. Besok izin aja kalau ada kelas. Lo nggak boleh banyak gerak dulu," pesan Aca sembari menyelimuti Javriel hingga sebatas dada.

Aca hendak keluar dari kamar Javriel, tapi tangannya ditahan oleh Javriel. Aca membalikkan badannya, menatap wajah Javriel. Javriel bangun dari ranjang.

Grep — Javriel memeluk Aca sembari meletakkan kepalanya di perut Aca. Jantung Aca berdegup lebih cepat dari biasanya saat Javriel memeluknya.

"Jav, lo—"

"Ca, jangan pergi dan jauhi gue. Gue kangen kebersamaan kita. Gue nggak punya siapa-siapa. Gue janji nggak akan larang lo deket sama siapapun, termasuk Bastian. Lo bahagia, gue juga ikut bahagia. Gue kangen pelukan lo, kangen semua tentang lo. Gue nggak bisa jauh dari gue," ucap Javriel, membuat Aca terdiam seribu bahasa.

Aca bingung dengan dirinya sendiri. Di satu sisi, ia tidak bisa menjauh dari Javriel, tapi di satu sisi lainnya, Aca ingin Javriel tidak bergantung padanya.

"Jav ... i—ya, gue nggak akan ninggalin lo. Maaf, karena sikap gue ke lo. Gue ... nggak mau halangi kebahagiaan lo, Jav ..." lirih Aca membalas pelukan Javriel sembari menepuk punggung sahabatnya.

Javriel mengurai pelukannya, membelai pipi Aca. "Lo nggak pernah halangi kebahagiaan gue. Lo itu bagian dari hidup gue, orang yang ngerti tentang gue, begitu juga gue. Gue sayang sama lo. Apapun yang buat lo bahagia, gue bakal dukung, tapi inget jangan salah pilih pasangan."

"I—ya, Jav," balas Aca gugup saat ditatap oleh Javriel.

"Sekarang lo istirahat, ya. Gue mau siapin bubur sama teh hangat buat lo." Aca membaringkan kembali Javriel ke ranjang.

Javriel menganggukkan kepalanya. Kali ini, ia menurut dengan Aca. Setelah Aca pergi, helaan napas keluar dari mulutnya.

"Entah kenapa, gue kalau lihat dia sama orang lain, gue nggak terima. Apa gue udah jatuh cinta sama Aca, persis seperti ucapan Nara?" tanya Javriel kepada dirinya sendiri.

Tak lama, Aca datang sembari membawa nampan berisi bubur ayam dan teh hangat untuk Javriel. Aca meletakkan nampan itu di meja.

"Gue suapi, ya, Jav," kata Aca sembari mengambil mangkuk bubur ayam itu.

"Nggak usah, Ca. Gue bisa makan sendiri. Gue—"

"Jav, tangan lo itu masih sakit. Nggak usah maksain diri. Lo harus nurut sama gue, ya, Jav. Gue nggak mau tangan lo semakin parah!" tegas Aca sembari menatap tajam sahabatnya itu yang sangat bandel dan susah dinasehati.

Javriel menundukkan kepalanya. "Iya, iya, Ca. Jangan galak, nanti cantiknya hilang," godanya terkekeh kecil.

"Javriel! Kok nyebelin? Lo nggak pernah berubah, ya, Jav."

Javriel merapikan poni Aca yang menutupi mata cantiknya. Jantung Aca berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Gue masih Jav yang dulu. Gue nggak bakal berubah, Ca. Gue bakal jadi Jav yang lo kenal. Makasih selama ini, lo selalu ada buat gue," kata Javriel tersenyum tipis.

Aca membelai pipi Javriel menggunakan tangan kanannya. "Sama-sama. Kita udah janji buat sama-sama terus, walau nanti kita akan dapat pasangan masing-masing."

"Iya, Aca Auralina."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jav & Aca || Jeonghyeon - ChaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang