Heeseung mundur selangkah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak percaya.
"Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak akan dipaksa menikah dengan orang yang tidak kuinginkan, hanya untuk membebaskan Sunghoon. Aku tidak percaya kau akan menyarankan hal seperti itu."
Ekspresi ibunya mengeras, matanya menyipit.
"Kau tidak punya pilihan lain, Nak. Ini demi kebaikan kerajaan. Menikahi sang putri akan memperkuat aliansi kita dan mendatangkan keuntungan bagi kerajaan kita. Jika kau menentangku, maka pria itu akan tetap dipenjara. Itukah yang kauinginkan?"
Heeseung merasakan campuran emosi. Frustrasi, marah, tetapi juga perasaan tidak berdaya. Ia benci ibunya menggunakan Sunghoon sebagai alat tawar-menawar, memaksanya ke dalam situasi yang tidak diinginkannya.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia membukanya lagi, menatap ibunya dengan tatapan tajam.
"Jika aku setuju, kau akan membiarkan Rainn pergi? Sekarang juga?"
Ibunya tersenyum tipis, merasakan kepasrah dalam nada bicara heeseung dan tersenyum licik.
"Ya, aku akan melepaskannya. Tapi kau harus menepati janjimu dan menikahi sang putri. Kalau tidak, aku akan memastikan kau tidak akan pernah bertemu orang desa itu lagi. Apa kita sepakat?"
Heeseung mengatupkan rahangnya, merasa seperti terjepit di antara batu dan tempat yang keras. Namun, cintanya kepada Sunghoon lebih kuat dari apa pun, dan ia bersedia melakukan apa pun untuk membebaskannya.
"Baiklah. Aku setuju dengan syaratmu. Tapi kau harus menepati janjimu dan segera membebaskan sunghoon."
Senyum ibunya melebar, matanya berbinar puas.
"Kau pegang kata-kataku, Nak. Aku akan segera mengatur pembebasan pria itu. Mengenai sang putri, kita akan segera membuat persiapan yang diperlukan untuk pernikahan mu. Kau telah membuat keputusan yang tepat."
Berbulan-bulan telah berlalu sejak kesepakatan itu dibuat. Heeseung telah melaksanakan bagiannya dari kesepakatan itu, mempersiapkan pernikahannya yang akan datang dengan putri kerajaan tetangga. Ia merasa seolah-olah hidupnya sedang direncanakan untuknya, dan hatinya sakit setiap hari untuk Sunghoon.
Ia terus memikirkannya, bertanya-tanya apakah sunghoon baik-baik saja. Heeseung merasa sangat sedih karena tidak tahu apakah ia telah dibebaskan.
Meskipun khawatir dan sedih, Heeseung tidak dapat menunjukkan sedikit pun perasaannya yang sebenarnya. Ia harus berperan sebagai calon raja, menjalani persiapan pernikahan dengan senyum di wajahnya. Namun, di dalam hatinya, ia kacau. Ia sangat merindukan Sunghoon hingga hampir mati.
Hari ini adalah hari pernikahan. Heeseung berdiri di altar, sang putri di sampingnya. Ia memandang ke arah kerumunan, melihat banyak bangsawan dan pejabat penting dari berbagai kerajaan.
Ia merasa mati rasa, seperti sedang menjalani rutinitas. Hatinya tidak tenang. Yang ada di benaknya hanya satu: Sunghoon.
Ia mencoba untuk fokus pada upacara tersebut, tetapi pikirannya terus melayang. Kenangan saat-saat bersama Rainn di rumah hutan terputar dalam benaknya. Senyumnya, tawanya, kehangatannya... Ia ingin sekali bertemu dengannya lagi, memeluknya.
Saat pendeta mengucapkan sumpah, Heeseung merasa seperti sedang bermimpi. Ia mengulang bagian sumpahnya secara otomatis, pikirannya melayang ke tempat lain. Ia melirik sang putri yang berdiri di sampingnya, tetapi yang ia lihat hanyalah wajah Sunghoon ddalam benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
waiting for you [Heehoon]
Teen Fictioncerita tentang pangeran yang jatuh cinta pada penjual sayur dari desa tapi dihalang oleh ratu atau ibunya ⚠️ ini adalah murni hasil pemikiran saya sendiri, dimohon untuk tidak mengcopy apapun. ini hanya fiksi, bukan nyata, tolong apapun yang terjadi...