49. Size matters (2)

5.1K 750 586
                                    

Kening Jeevans mengerut melirik hamparan lahan sawah yang padinya sedang dipanen. Dia mengedarkan pandangan dan dalam hati kebingungan kenapa hamparan hijau yang ada dalam bayangannya tidak sesuai dalam kenyataan. Bibirnya terkatup rapat dengan raut kekecewaan yang begitu jelas terpampang di wajahnya.

Berbeda dengan Jeevans yang sedih, Violet malah asyik menonton para petani sedang memotong padi. Dia mengikuti Jeevans di samping, lalu berbisik, "Jeev, menurut lo ibu-ibu itu bakal terima gue gak kalau gue ajuin diri bantuin panen?"

"Kak Cathleen baik, pasti akan diterima," sahut Jeevans lembut, berusaha mengontrol kekecewaannya.

Violet mengelus dagu sambil menyipitkan mata, sebelum menoleh mengamati ekspresi Jeevans. "Kenapa muka lo jelek gitu?"

Mata Jeevans melebar. "Jelek?"

Violet menowel pipinya. "Iya, jelek. Cemberut bikin lo jelek tau."

Pupil mata Jeevans bergetar saat menyadari maksud sebenarnya dari hinaan gadis itu. Bibirnya mengerut, sebelum menunduk sedih, "Tanahnya kering. Kita tidak bisa cari belut."

"Lah, beneran niat nyari?"

"Saya mengajak Kak Cathleen ke sini bukan tanpa tujuan." Mereka menghabiskan perjalanan cukup jauh demi sawah ini. Jika tidak bisa menangkap belut, sia-sia waktu yang mereka habiskan. Juga dia gagal membahagiakan Violet.

Violet melipat tangannya ke belakang punggung, menatap ke depan dengan senyuman lebar. Dia diam sejenak, seolah menikmati pemandangan itu. "Hati gue bener-bener damai sekarang."

Jeevans melirik gadis itu penasaran.

"Lihat deh, di lahan ujung sana masih berwarna hijau kekuningan, belum dipanen. Ditonton dari sini aja bikin suasana hati gue meningkat pesat." Violet perlahan menoleh, membalas tatapan Jeevans dengan cengiran hingga matanya melengkung. "Ditambah ada lo. Jadi, makasih, Jeev. Gue gak tau kalau gak ada lo, masih sekacau apa perasaan gue."

"Kak Cathleen tidak sedih lagi? Sungguh?"

Violet terdiam sejenak karena pertanyaan tersebut. "Lo beneran yakin mau bahagiakan gue?"

Jeevans segera memberikan anggukan serius. Dia sangat-sangat ingin Violet tidak sedih lagi, karena dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang masalah keluarga Violet selain berada di sisi gadis itu dan menyenangkannya. Jadi dia ingin memberikan apapun yang diinginkan Violet.

Violet mengelus dagunya sambil menyipitkan mata. "Gue mau...." Sebuah ide melintasi benaknya. Sudut bibirnya mulai terangkat, membentuk senyuman miring penuh arti. "Gue kasih alamatnya, lo ikutin aja. Oke?"

Jeevans terpana sejenak melihat senyuman gadis itu. Dia memiringkan kepala, dengan wajah kosong mencoba menebak ide apa yang akan Violet lakukan. Karena setiap kali senyum sejenis itu terukir di bibir Violet, Jeevans selalu merasa tidak aman.

***

"Woahh! Lo lihat? Lucu banget meliuk-liuk!" Violet dengan heboh menepuk lengan Jeevans di sebelahnya, memandang segerombolan belut yang berada di dalam sebuah plastik bening berisi air yang diikat di sebuah tiang.

Jeevans mundur selangkah, ekspresi ngeri melekat di wajahnya melihat plastik-plastik bening yang berjejer rapi. Ringisan pelan lolos dari bibirnya, bulu kuduknya berdiri.

"Ini gede banget, Jeev." Violet sangat fokus pada belut-belut dalam plastik itu sehingga tidak menyadari reaksi Jeevans yang terlihat jijik akan hewan invertebrata tersebut. "Pasti enak dimakan!"

Mata Jeevans seketika melebar. Dia menoleh pada Violet yang sedang mencondongkan tubuh ke depan, hampir-hampir wajah gadis itu akan menyentuh plastik berisi belut-belut yang masih menggeliat. Dia segera menarik Violet mundur, keningnya mengerut.

REDAMANCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang