51. Accept the fact

5.5K 749 600
                                    

Jika ditanya apa yang sedang dipikirkan Violet saat ini, mungkin dia akan menjawab dia ingin mencengkram pundak ayahnya lalu mengguncangnya kuat seraya berteriak, "Jangan sok tsundere, inget umur!"

Bagaimana tidak, sudah setengah jam duduk di bangsal tempat Gian dirawat, Violet seperti orang tolol yang duduk diam tak dianggap. Violet tidak bisa terus mengulur-ulur waktu menghindari sang ayah. Dia harus mendapat seluruh jawaban mengenai apa yang terjadi, apa mereka sembunyikan, dan apa yang tidak Violet ketahui selama ini.

Sayangnya sang ayah nampak pendendam. Sejak Violet masuk bangsal, dia tidak mau menatap anak gadisnya barang sedetik saja. Pria itu akan selalu mempertahankan Cintya di sampingnya agar tidak meninggalkannya dalam ruangan yang hanya berisi dirinya dan Violet. Dia menjadikan Cintya tameng menghindari Violet.

Berulang kali Violet menarik napas sembari mempersuasi diri dengan kata sabar. Setiap menit rasanya kata itu terus berulang di benak Violet menghadapi tingkah kekanak-kanakan sang ayah. Iya, Violet menyematkan kata kekanak-kanakan pada Gian sejak tadi. Jika pria paruh baya itu tahu isi pikiran sang putri, mungkin bangsal yang sunyi layaknya kuburan itu akan berubah menjadi medan perang.

Violet pun memiliki ego yang tinggi. Dia gengsi memulai percakapan dengan sang ayah. Dia tidak akan pernah mau merendahkan hati untuk berbicara pada sang ayah, bahkan menanyakan kondisinya saja tidak dia lakukan. Selama dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang ayah masih bisa berlagak sok, tidak perlu ditanya lagi, pria itu pasti memiliki energi ekstra karena masih bisa mencari masalah.

Cintya yang dipaksa duduk mengupas buah oleh sang suami agar tidak pergi dari bangsal merasa tak berdaya. Buah benar-benar tidak jatuh jauh dari pohonnya. Gian dan Violet sama-sama keras kepala, tidak akan ada ujungnya jika tidak ada yang menjadi penengah.

"Vio, malem ini Tante balik ke rumah untuk ambil pakaian baru ayahmu. Temani Tante, ya?"

Ekspresi suntuk dan datar Violet retak mendengar pertanyaan Cintya. Bukan karena pertanyaannya, melainkan menyebut dirinya sebagai tante. Setelah tahu kebenaran, rasanya aneh mendengar Cintya menyebut dirinya sebagai 'tante' untuk Violet.

Hati Violet terasa tenggelam, merasa bersalah yang mendalam. Tatapannya tertuju pada wanita cantik yang sibuk menunduk mengupas kulit apel. Mau tidak mau dia berpikir bagaimana bisa ada manusia yang sangat berlapang dada selama belasan tahun seperti Cintya? Anak kandungnya lebih dekat dengan wanita lain, selalu menghindarinya, bersikap kasar, bahkan yang terburuk memanggilnya sebagai perusak hubungan keluarga seseorang.

Sebelum Violet selesai mengatur perasaannya yang tiba-tiba menjadi berantakan, suara berat bernada dingin terdengar.

"Cintya, kamu lupa dia sudah kumpul kebo dengan pacarnya? Jangan ganggu dunia kecil pasangan muda itu."

Perasaan sedih Violet seketika tersapu bersih dalam sekejap, digantikan oleh kejengkelan.

"Kayak ada suara tapi sosoknya gak ada. Bunda denger, gak?" ujar Violet sambil celingak-celinguk seolah mencari sumber suara, mengabaikan tatapan tajam yang langsung tertuju padanya.

"Anak nakal! Kamu sumpahin ayah gak ada lagi, hah? Kamu—"

"Bunda?" gumam Cintya linglung ketika mendengar kata itu keluar dari bibir Violet. Terdengar manis saat terucap dengan suara gadis itu. Terlebih saat menyadari panggilan itu kemungkinan besar tertuju untuknya.

Gumaman Cintya membuat ruangan itu kembali hening. Violet mengerutkan bibir, sedikit gelisah. Tidak mungkin dia terus memanggil Cintya sebagai tante, bukan? Violet sudah mempertimbangkan hal ini sebelum datang ke rumah sakit. Dia ingin bersikap biasa saja ketika mengubah panggilan kepada Cintya agar menghindari kecanggungan, tetapi siapa sangka reaksi Cintya cukup besar hingga suasana menjadi kikuk.

REDAMANCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang