Pertemuan Pertama: Kembali ke Indonesia

6 6 3
                                    

Pulang ke Indonesia seharusnya menjadi momen yang membahagiakan. Namun, bagiku, itu terasa seperti penjara baru. Aku baru saja kembali dari sekolah di luar negeri, meninggalkan semua teman dan kehidupan yang kukenal. Di sini, di sekolah elit yang dipenuhi anak-anak kaya dengan rumah bak istana, aku merasa benar-benar terasing.

Hari pertama di sekolah baru, aku berjalan melewati koridor yang penuh dengan bisikan dan tatapan. Mereka melihatku seperti alien, dengan seragam sekolah yang selalu rapi dan penampilan yang dianggap sempurna. Tapi, di balik itu semua, aku hanyalah seorang remaja yang merasa tidak berharga dan sangat insecure dengan kemampuan sosialku.

Aku duduk sendirian di kantin, mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tatapan sinis dari sekelompok gadis di meja seberang membuatku merasa semakin kecil. Aku merindukan teman-temanku di luar negeri, tempat di mana aku merasa diterima. Di sini, aku seperti terjebak dalam lingkaran pertemanan yang penuh kepalsuan dan toksisitas.

Sore itu, aku berdiri di balkon rumah, memandangi pemandangan kota yang tampak begitu jauh dan tak tersentuh. Aku merasakan dorongan yang kuat untuk melompat, mengakhiri semua perasaan sakit dan kesepian ini. Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari kontak yang baru kutambahkan beberapa hari lalu.

"Celie, apa kamu baik-baik saja?" tulis Ryan.

Aku mengenal Ryan dari grup WhatsApp teman-teman lama. Meskipun kami belum pernah bertemu langsung, ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa nyaman. Tanpa berpikir panjang, aku mulai menceritakan segala keresahan dan rasa sakit yang kurasakan.

"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini terlalu sulit," tulisku.

Balasan Ryan datang dengan cepat. "Kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu."

Aku menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Meski hanya lewat kata-kata di layar, kehadiran Ryan memberiku secercah harapan. Aku terus mengobrol dengannya, bercerita tentang segala hal yang membuatku ingin menyerah. Di tengah-tengah percakapan, aku mendengar suara ayah dari balik pintu balkon.

"Kak?" panggil papa, suaranya lembut namun tegas.

Aku menutup ponselku dan menoleh. "Ya, pa"

Papa mengajakku bicara, menanyakan bagaimana hari pertamaku di sekolah. Meskipun aku tidak bisa mengungkapkan semua perasaanku, aku merasa sedikit lebih baik setelah berbicara dengannya. Setelah papa masuk kembali ke rumah, aku kembali ke balkon, meraih ponselku dan melanjutkan obrolan dengan Ryan.

"Celie, aman kah?" tulis Ryan.

Pesannya membuatku tersenyum. Di saat aku berada di titik terendah, Ryan berhasil membuatku tertawa. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan bagiku untuk melewati semua ini. Aku melihat ke langit yang mulai gelap, merasakan angin malam yang sejuk.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, aku merasa ada alasan untuk tetap bertahan. Aku masih ingin hidup, dan mungkin, dengan bantuan Ryan, aku bisa menemukan jalan keluar dari semua kegelapan ini.

di Balik Pagar BalkonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang