Sekolah Elite, Teman Palsu

2 5 2
                                    

Hari-hariku di sekolah mulai terasa seperti mimpi buruk yang tiada akhir. Setiap pagi, aku harus mempersiapkan diriku untuk menghadapi tatapan sinis dan bisikan dari teman-teman sekelas yang tampaknya menikmati penderitaanku. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan bersosialisasi, berubah menjadi tempat yang penuh dengan kepalsuan dan toksisitas.

Di kelas, aku merasa seperti hantu yang tak terlihat. Guru mengajar di depan, sementara aku duduk di belakang, mencoba fokus pada pelajaran. Namun, sulit untuk berkonsentrasi ketika aku tahu banyak dari mereka hanya berpura-pura baik di depan guru. Di belakang, mereka adalah orang yang sama sekali berbeda.

Suatu hari, saat istirahat, sekelompok gadis mendekatiku di kantin. Mereka terlihat ramah, dengan senyum lebar yang terkesan tulus.

"Hai, kamu anak baru, kan? Mau duduk sama kami?" tanya salah satu dari mereka, yang kelihatan seperti pemimpin kelompok.

Aku merasa sedikit senang karena akhirnya ada yang mau bergaul denganku. Aku bergabung dengan mereka dan mencoba untuk ikut dalam percakapan mereka tentang fashion, pesta, dan media sosial. Namun, semakin lama aku berbicara dengan mereka, semakin aku merasa ada yang aneh. Mereka sering saling bertukar pandang dan tertawa kecil, seolah-olah ada sesuatu yang aku tidak tahu.

Salah satu dari mereka, seorang gadis dengan rambut pirang panjang bernama Melisa, tiba-tiba bertanya, "Jadi, kamu tinggal di luar negeri sebelumnya? Pasti seru, ya?"

Aku mengangguk, menceritakan sedikit tentang pengalamanku. Namun, aku bisa merasakan bahwa mereka lebih tertarik pada detail yang bisa dijadikan bahan gosip daripada cerita sebenarnya.

Setelah beberapa hari bergaul dengan mereka, aku mulai menyadari bahwa niat mereka tidak tulus. Mereka sering mengabaikanku atau menggodaku dengan cara yang halus tapi menyakitkan. Pada suatu kesempatan, aku mendengar mereka tertawa di belakangku, membicarakan bagaimana anehnya gaya berpakaian dan tingkah lakuku. Aku merasa seperti boneka yang dijadikan bahan lelucon.

Kembali ke rumah, aku merasa sangat tertekan dan sedih. Semua ini membuatku semakin merasa tidak berharga dan tidak diinginkan. Di tengah perasaan putus asa, aku mengambil ponselku dan mengirim pesan kepada Ryan.

"Aku tidak tahan lagi dengan semua kepalsuan ini," tulisku dengan jujur.

Ryan membalas dengan cepat. "Kamu harus bisa melihat siapa teman sejati dan siapa yang bukan. Jangan biarkan mereka menghancurkan semangatmu, Celie."

Aku merenungkan kata-katanya, mencoba menemukan kekuatan dalam diriku. Percakapan dengan Ryan selalu menjadi pelipur lara di tengah semua kekacauan ini. Aku tahu aku harus lebih kuat dan tidak membiarkan diriku dihancurkan oleh orang-orang yang tidak peduli padaku.

Malam itu, setelah berbicara panjang lebar dengan Ryan, aku merasa sedikit lebih baik. Aku bertekad untuk tidak membiarkan diri terpengaruh oleh teman-teman palsu di sekolah. Aku akan mencari cara untuk bertahan dan menemukan teman-teman yang benar-benar peduli.

Esok harinya, aku kembali ke sekolah dengan kepala tegak. Aku tahu tantangan masih ada di depan, tetapi dengan dukungan dari dia, aku merasa lebih siap menghadapinya. Aku akan terus berjuang untuk menemukan tempatku di dunia ini, di antara orang-orang yang tulus dan benar-benar peduli.

di Balik Pagar BalkonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang