born to steal, chapter 3.2

582 84 7
                                    

born to steal || rioncaine - chapter 3.2

Seorang perusuh dan seorang penolong seharusnya berbeda seperti api dan air.

Tetapi hal-hal tak terduga terjadi setiap saat.

Seperti Rion yang menemukan tempat berlindung yang aman pada diri Caine.

© 2O24 | crofflaine

・ ・ ・

Suara yang mendesis itu langsung memicu ingatan Rion dan membuat darah di nadinya membeku. Dia mengutuk dalam hati, melirik ke arah kirinya.

Mata Rion mengenali senyum menyeringai dari sumbernya. Itu salah satu preman yang menyebabkan lengannya terluka tahun lalu.

Pria itu, tidak jauh lebih tinggi darinya– dan tentu saja tidak lebih pintar, sedang bersandar pada tiang lampu jalan.

Rokok yang tinggal setengah tergantung longgar di bibirnya. Senyuman itu semakin melebar dengan cara yang mengancam saat dia mengambil puntung rokok dari antara giginya dan melemparkannya ke tanah.

Rahang Rion mengencang dan dia menoleh ke arah Caine dengan cemas, menemukan pandangan Caine yang sudah dipenuhi pertanyaan.

"Caine, kenakan sabuk pengaman dan pegang erat-erat. Oke?" Rion mengira dia akan dihujani pertanyaan, tetapi sebaliknya, Caine hanya mengangguk dan tenggelam lebih rendah ke kursinya. Memegang sabuk pengamannya erat-erat.

"Hei, kurasa kita masih punya masalah yang belum selesai!" pria itu mencemooh kemudian. Bersiap-siap untuk mendekati mereka ketika mobil-mobil di depan mereka menghilang.

Rion langsung mengganti gigi dan menginjak gas, "BOTAK IDIOT!"

Preman itu berteriak marah pada mereka dan Rion tahu ini belum berakhir.

Rion melihat sekilas pria itu dari kaca spion dalam mobil, melambai kepada rekannya yang lain sebelum masuk ke mobil putih yang diparkir di samping mereka.

"Aku minta maaf, dok, sepertinya kita harus menundanya." Wajah Rion berubah menjadi menyesal saat dia menavigasi sekitar melalui jalan-jalan yang sibuk. "Aku akan berhenti di suatu tempat agar kau bisaㅡ" kalimatnya terpotong ketika suara yang keras terdengar, dan hal berikutnya yang Rion sadari adalah kaca spion samping yang retak menjadi potongan-potongan kecil. "Fuck."

Mata Caine membesar. Menatap Rion dengan mata terkejut seperti rusa kutub. "Apakah itu peluru?"

"Aku khawatir jika itu benar."

Diam-diam, Caine melipat bibirnya kedalam dan tenggelam lebih rendah lagi ke kursinya. "Damn, jadi begini rasanya hang out denganmu, huh cool guy?" Caine bercanda dan Rion meliriknya dengan terkejut.

Ada sedikit kekhawatiran di wajah Caine, dipadukan dengan rasa kesal di matanya. Tapi Rion menyadari kalau dia tidak takut atau panik. Caine tidak ketakutan seperti kebanyakan orang dalam situasi seperti ini. Itu tampak tidak masuk akal, hampir absurd.

Rion tertawa kecil.

"Sometimes, yeah. Tetap tundukkan kepalamu, oke?" Rion memberi Caine senyuman sebelum mengeluarkan pistol di pinggangnya dari balik kemeja longgarnya, dan Caine mengangguk kuat.

Mengokang magnumnya, Rion melirik ke belakang, melihat mobil putih yang mendekat dengan cepat. Mobil itu hanya berjarak beberapa kendaraan di belakang mereka.

Pada saat itu, seseorang menjulurkan tubuh dari jendela penumpang dan Rion langsung duduk kembali. Mengganti ke gigi yang lebih tinggi dan berbelok tajam ke jalan lain, mendapatkan klakson keras dan sumpah serapah dari pengemudi-pengemudi lainnya.

Dengan sudut yang baru, Rion menembakkan beberapa tembakan. Setiap tembakan menembus ban depan mobil putih mereka dan akhirnya menyebabkan mobil itu berhenti mendadak di tengah jalan.

Selanjutnya, Rion berbelok lagi, menuju jalan keluar ke jalan lingkar di utara.

Tidak ada waktu untuk merasa aman, dengan suara peluru yang menembus bagasi mobilnya.

Dan Rion melihat dua sepeda motor mengikuti mereka dari kaca spion.

"Bisa minta tolong?"

Caine mengangkat alis sambil tersenyum kikuk. "T-tolong apa?"

"Pegang kemudi untukkuㅡ hanya beberapa detik. Can you do that?"

"W-what? Why?"

Rion menghela napas. "Aku mungkin penembak handal, tapi aku tidak bisa menembak ke belakang sambil mengemudi."

"Aku tidak bisa mengemudi! Aku tidak punya SIM!" Rion menahan tawa, merasa ironis bahwa baru sekarang Caine memilih untuk panik dan itu pun karena sesuatu yang, menurut Rion, kecil.

"Hanya pegang stir dan tetap pastikan mobil berada di jalan selama lima detik, itu saja." Rion memberinya senyuman yang meyakinkan dan Caine menelan ludah. Akhirnya setuju, tidak punya banyak pilihan setelah peluru lain mengenai mobil mereka. Jadi Caine membungkuk dan memegang kemudi erat-erat. Untungnya tidak banyak mobil di depan mereka di jalan raya.

Lima detik. Hanya lima detik, Caine terus mengingatkan dirinya sendiri saat Rion berbalik di kursinya dan dengan presisi mematikan membidik dan mengenai ban motor. Kendaraan-kendaraan bersama penumpangnya tersandung dan jatuh ke tanah.

Dan Rion segera mengambil alih kemudi kembali.

"Good boy," Rion tersenyum pada Caine dengan bangga.

Caine merasa pipinya memerah karena pujiannya.

Caine melirik Rion lalu duduk tegak di kursinya, "Bidikanmu sangat mengesankan."

Rion bisa saja membidik penumpang– itu pasti lebih mudah –tapi dia masih memilih hanya menembak bannya saja. Caine memperhatikan itu.

Rion menggumamkan 'terima kasih' dengan malu-malu sebelum berdehem. "Kau tahu kota ini dengan baik, kan?"

Caine mengangguk.

"Baiklah, apa kau tahu area yang sudah ditinggalkan penduduk di dekat sini?"

Caine menyandarkan punggungnya dan berpikir keras sambil menggigit-gigiti bibirnya, mencoba mengingat sesuatu.

Ada hutan dan gunung, tapi tidak bisa dicapai dengan mobil.

"Ah, kau ingat tadi aku bilang salah satu jalan utama ditutup karena konstruksi? Itu jalan yang cukup besar. Bagian itu harusnya cukup sepi, kecuali untuk gudang-gudang di dekatnya."

Rion mengangguk, mempercayai kata-kata Caine.

Mereka tidak punya banyak waktu untuk mencari area alternatif sekarang, karena sepeda motor ketiga sudah muncul di kejauhan. "Tunjukkan jalannya."

"Ambil pintu keluar berikutnya," Caine menginstruksikan dan mereka menuju ke timur. Tidak ada kendaraan di sekitar mereka saat meninggalkan segmen jalan utama. Segera menemui blokade jalan di kejauhan dengan area konstruksi di belakangnya.

Rion berbelok tajam, meninggalkan jalan utama dan menuju deretan gudang abu-abu di sampingnya untuk memarkir mobil di belakang salah satu gudang.

"Pindah ke kursi belakang dan tetap rendahkan badanmu, mengerti?" Rion menginstruksikan dan sebelum bibir Caine bisa terbuka untuk protes, Rion sudah pergi.

Dengan desahan, Caine beringsut dan melakukan seperti yang diperintahkan.

Namun, Caine tak bisa menahan rasa penasarannya, dia berani mengintip beberapa kali. Mencoba melihat apakah dia bisa menangkap sekilas sesuatu.

Tidak bisa.

・ ・ ・

Besok ak ujian TPA huhu 😭
‎ 

with love,
- lev.

born to steal | rion x caineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang