3. Pembuktian

14 6 2
                                    

Aku berjalan melewati koridor kelas yang sunyi. Menuruni tangga yang curam. Menuju ke ruang BK. Ruangan yang berada di ujung lorong. Semakin mendekat, aku mendengar suara orang bercakap-cakap. Ramai sekali di dalam.

"Kak, aku sampai sini aja, ya. Kakak sudah ditunggu sama pak Harto." Kata siswa yang mengantarku.

Aku mengangguk. Mengucapkan terima kasih. Setelah anak itu pergi, aku terdiam cukup lama. Memandangi pintu yang ada di depanku. Mengumpulkan keberanian. Aku menghembuskan napas perlahan, kemudian mengetuk pintu.

"Masuk!" Suara berat pak Harto terdengar,

Aku menggenggam gagang pintu lalu memutarnya. Kejutan. Di dalam, seseorang mengenakan gaun motif bunga-bunga dan rambut sebahu, sedang duduk menghadap pak Harto. Orang itu adalah mamaku. Pantas saja suaranya terasa familiar di telinga. Selain mama, di sana juga hadir Antonio, Aksenio, dan Bryan. Sudah kuduga, mereka akan membicarakan kejadian kemarin.

"Silakan duduk, Khandra."

Aku mengangguk. Memilih duduk di kursi berlengan. Sekilas, mama menatapku. Aduh, pekerjaan rumah pasti tertunda karena urusan ini. Jangan-jangan aku akan dimarahi lagi.

"Baik, karena semua sudah hadir, Kita mulai pembicaraannya," Pak Harto berdeham, memperbaiki posisi duduk "Pertama, saya ingin meminta maaf kepada ibu Khandra. Karena telah menuduh Khandra tanpa ada bukti yang jelas. Saya sadar bahwa itu adalah kelalaian yang sangat fatal, sekali lagi saya mohon maaf," Guru BK ku itu menatap mama.

"Mohon maaf, pak. Tapi apa yang membuat Khandra tidak bersalah? Bukankah kemarin dia mendorong anak laki-laki itu?" Mama menunjuk Antonio.

Pak Harto mengangguk "Kemarin, pak Budi―rekan saya memang melihat Khandra ribut dengan kedua anak

itu, lalu tiba-tiba Antonio terjatuh. Pak Budi langsung menyimpulkan kalau Khandra lah yang membuat Antonio terjatuh. Disitulah―"

"Alamak, kenapa jadi bertele-tele kau ini? Cepatlah! Setrikaan ku menunggu di rumah." Hilang sudah intonasi lembut mama. Nada bicaranya mulai meninggi. Mama memang tidak suka basa-basi. Diam-diam aku tersenyum.

Pak Harto gelagapan. Mungkin sedikit terkejut dengan perubahan emosi mama yang cepat itu. Pak Harto mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah Handphone. Beberapa saat kemudian, beliau menunjukkan sebuah video. Terlihat Antonio dan Aksenio berdiri di depanku. Rekaman itu menampilkan semuanya. Terlihat jelas bahwa Antonio menjatuhkan diri dengan sengaja. Setelah video selesai diputar, semua kembali menatap pak Harto. Kedua anak kembar itu menunduk.

"Kemarin, saat anak-anak sudah pulang, ada seorang siswa yang menemui saya. Dia menunjukkan video ini. Sebelum ibu datang kesini, saya sudah lebih dulu berbicara dengan kedua anak ini," Pak Harto menunjuk ke Antonio dan Aksenio.

"Mereka sudah diberi hukuman skors selama dua bulan. Dan dengan begitu, Khandra tidak bersalah. Sekali lagi saya mohon maaf kepada Khandra dan ibu."

***

Pertemuan selesai sudah. Aku, mama, dan Bryan keluar dari ruang BK. Menyisakan si kembar dengan pak Harto di dalam. Mama langsung pulang ke rumah. Entahlah, aku tidak tahu apakah mama masih marah atau tidak. Wanita itu tidak mengatakan sepatah-kata pun padaku.

Di depan ruang BK, hanya ada aku dan Bryan. Jam pulang sekolah masih lama sekali. Kami harus kembali ke kelas masing-masing.

"Mau ke kelas bareng?" Tiba-tiba saja Bryan bertanya.

Aku yang sedang menatap semut merah di lantai, sontak terkejut mendengarnya. Bryan sudah berdiri disampingku, ikut memandangi semut-semut itu. Aku mengiyakan permintaannya. Kami berjalan beriringan, menaiki tangga.

See you tomorrow, Bryan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang