4. Mulai akrab

16 5 1
                                    

Jangan lupa vote dan komennya. Terima kasih 💕
--------------------------------------------------------------
Aku berlari-lari di atas trotoar yang ramai oleh pedagang. Tas gendong di punggung bergoyang mengikuti irama langkah kaki. Aku melihat jam di pergelangan tangan. Berdecak kesal. Sudah jam 07.50. Aku pasti terlambat. Lagi pula angkot tadi kenapa mogok di tengah jalan segala, sih.

     Setelah mengatur napas, aku melanjutkan langkah. Kembali berlari di tengah keramaian kota. Baru sampai di depan gerbang sekolah satu menit sebelum bel berbunyi. Nyaris saja. Untung masih dibuka oleh satpam. Kalau tidak, bisa-bisa aku masuk ruang BK lagi.

    Kelas sudah ramai. Hampir semua murid sedang sibuk mencatat sesuatu. Biasalah. Mengerjakan PR di detik terakhir. Termasuk kedua sahabatku. Gisel dan Clara sedang mencontek satu sama lain.

    “Kalian ngerjain apa sih, kok baru ditulis sekarang?” Aku menghampiri mereka. Melepas tasku dan menyimpannya di kursi.

    “PR dari pak Budi. Semalam gue asyik nonton drakor, Ra. Seru abis, tokoh utamanya ternyata punya rahasia.” Jawab Gisel. Matanya berbinar saat menceritakan film favoritnya itu.

    Aku menyeringai. Malas menanggapi. Gisel memang begitu, suka sekali dengan cowok Korea. Tiba-tiba bel berbunyi. Memutus dengung lebah di kelas. Gisel panik, mempercepat gerakan menulisnya. Tulisannya sudah seperti ceker ayam. Entahlah yang mana x dan mana y. Tidak ada bedanya.

    Pak Budi masuk ke kelas. Mengucapkan salam. Murid-murid menjawab deengan lesu. Aku menghela napas. Dua jam ke depan, aku harus menghafal rumus-rumus sulit. Belum lagi jika ada ulangan mendadak.

    “Keluarkan buku PR kalian!” Pak Budi berteriak. Tangan kanannya memegang penggaris panjang. Siap menghukum.

    Murid-murid kembali ribut mengeluarkan buku PR. Padahal buku itu sudah ada di depan mereka. Aku meraih tas ku, hendak mengambil buku PR Matematika. Mencari di antara tumpukan buku dan barang lainnya. Aku bahkan sampai menumpahkan seluruh isi tas. Nihil. Buku itu tidak ada. Clara yang ada di sebelahku menoleh.

    “Kenapa Ra? Lo nggak lupa ngerjain PR, kan?”

    Aku menggeleng. Tentu saja aku mengerjakan PR. Kemarin malam aku menaruh buku itu di meja belajar. Ah, benar. Sepertinya buku itu tertinggal di sana. Pagi tadi aku berangkat terburu-buru, tidak sempat memeriksa. Aku terduduk lemas di kursi. Ya ampun, bagaimana ini?

    Pak Budi sudah sampai di depan mejaku dan Clara. Beliau mengulurkan tangan, meminta buku PR kami. Clara menyerahkan buku tulis miliknya, sementara aku hanya bisa menunduk. Pasrah.

    “Kumpulkan buku PR kamu, Khandra!” Pak Budi mengetuk-ngetuk penggarisnya. Berkacak pinggang.

    Aku menelan ludah “Maaf pak, buku saya tertinggal di―”

   “Alasan! Berdiri di lorong sampai pelajaran selesai!” Pak Budi membentak.

    Dengan berat hati, aku bangkit dari kursi. Berjalan lambat ke koridor. Teman-teman tertawa. Walaupun akhirnya mereka juga ketakutan saat pak Budi sudah di depan mereka.  Sampai di depan kelas, aku berdiri di samping pintu. Memandangi awan yang bagaikan kapas di langit.

    Tanpa ku sadari, seseorang juga keluar dari kelas sebelah. Dia sedang menatapku dengan heran. Seseorang yang membuatku bangun kesiangan pagi ini.

   “Khandra, kamu sedang apa di sini?” Bryan berbisik.

    Aku sedikit terlonjak mendengar suara itu. Bryan tersenyum, melambaikan tangan padaku. Lho, dia juga dihukum sepertiku?

    “Bryan! Kamu juga―”

    “Hei! Kalian ini, dikasih hukuman malah ngobrol! Kalau kalian masih mau berbicara, silakan ke ruang BK!” Pak Budi keluar kelas, meneriaki kami.

See you tomorrow, Bryan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang