"Asem banget mukanya, dari tadi juga gak fokus, udah bosen ngajar kah?"
Mara hanya bisa bersabar, masih pagi sudah mendapat pertanyaan menjengkelkan, siapa lagi kalau bukan dari Loka—si musuh abadi kesayangan—gak mana ada sayang.
Yang bener?
Bener dong, kan udah dikutuk kalo suka nanti mati. Eh astaga.
Mara sih enggan menjawab, mulutnya sudah lelah untuk berbicara, sudah habis untuk memberi pencerahan kepada adik tingkat kesayangan dikelas mereka.
Omong-omong mereka sudah tidak trauma kok, sepertinya sudah dicuci otak agar lupa kejadian waktu itu, syukur deh.
Mara sedang membereskan kertas-kertas tugas yang masih berserakan diatas meja, diliriknya sedikit Loka yang tepat disebelahnya. Tumben gak nyolot lagi? Kesambet apa anak itu? Entahlah, Mara tidak mau peduli.
Lagian Loka malah sibuk sendiri dengan ponselnya disitu.
"Nih, cek dulu." Disodorkannya kertas tugas yang sudah dirapikan kepada Loka, kurang baik apa lagi dia, kalau pengennya sih Mara lempar ke mukanya, omong-omong itu salah satu wishlist nya.
Loka menerima tumpukan kertas yang lumayan tebal itu dari tangan Mara, "Oke, makasih."
Beneran kesambet anak ini, sejak kapan dia mau mengucap terimakasih pada Mara? Biasanya juga ngajak ribut.
Mara sih tidak masalah, dia juga sedang malas ribut-ribut, kalau dilihat Loka sepertinya juga sama, lumayan energinya bisa disimpan untuk kegiatan setelah ini.
"Aku balik dulu, tugasnya sekalian aku aja yang kasih ke Pak Bambang." Ucap Loka sambil beranjak dari tempat duduknya lalu pergi begitu saja.
"Oke?"
Sepertinya hari ini semuanya aneh.
—
Disinilah Mara sekarang, ditempat yang paling ramai disinggahi dimana lagi kalau bukan di cafetaria, dirinya lapar jadi sebelum pulang memutuskan untuk makan di cafetaria terlebih dulu.
Bersama teman? Tentu sendiri, Mara ini pemberani, masa bodoh dikata tidak punya teman atau dijadikan konten bersyukur seperti orang-orang. Memangnya apa yang salah dari makan sendirian? Tapi terkadang Mara juga sedikit risih dengan tatapan orang-orang yang sepertinya kasihan melihat dirinya, jalan sendirian tidak punya teman. Tapi Mara tidak memperdulikan hal itu, masa bodoh yang penting dirinya senang.
Saat sedang menunggu pesanannya datang, kursi disampingnya bergeser, ada yang duduk disitu rupanya, "Aku ijin duduk disini ya, Ra?"
Mara menolehkan kepalanya begitu suara yang tidak asing itu terdengar, "Boleh aja sih, Yas. Gaada yang larang." Itu Ilyas rupanya, dia kira siapa, tidak masalah sebenarnya mau siapa saja, toh itu kursi bukan miliknya, hanya saja kalau tiba-tiba yang duduk bukan orang yang dia kenal juga canggung.
"Loka udah balik, Ra?"
"Udah tadi, keluar duluan malah."
"Oh okedeh, thanks infonya."
Mara menganggukkan kepala sebagai jawaban, sedangkan Ilyas kembali fokus kepada layar handphonenya yang menyala, sedang mengetikkan sesuatu diatas sana, Mara tidak ingin kepo lagian juga itu privasi.
Suasana berubah menjadi sedikit canggung karena pembicaraan keduanya yang berakhir begitu saja. Bukannya tidak nyaman cuma ada hal yang agak mengganjal saja.
"Eh—Nor—oh Mara?" Lagi-lagi seseorang mengejutkannya, tapi kali ini berbeda bukan seperti Ilyas—orang yang sudah dikenalinya, dia sama sekali tidak mengenali orang yang menepuk pundaknya barusan. Salah orang apa bagaimana?
Lantas orang yang menepuk pundaknya tadi sedikit gelagapan, sepertinya ada yang salah.
"Eh, sorry ya, kirain Nora, dari belakang kalian mirip, sekali lagi sorry ya." Kan, betul salah orang. Sudah biasa.
"Iy—a" Belum sempat Mara selesai menjawab, orang tadi langsung pergi begitu saja setelah mengetahui bahwa dia bukan Nora yang dia cari.
Hati mungil Mara sedikit tersentil, setidak penting itukah dirinya sampai tidak dianggap, bodo amat sih tapi.
Ilyas yang tadinya hanya melihat adegan itu akhirnya ikut mengomentari, "Parah banget, masa ditinggal gitu aja, iyasih udah minta maaf tapi ya gak langsung nyelonong gitu lah."
Kok malah Ilyas yang kesal ya? Mara juga sih, tapi dipendam saja, malas koar-koar.
"Yaudah sih, Yas. Biarin aja."
Ilyas menatapnya dengan tatapan yang agak sulit diartikan, "Sekali-kali bales kali, Ra. Maksudku kamu emang gak risih selalu dikira Nora terus? I mean minimal ditegur dikit gausah sampe berantem kaya sama Loka sih, cuma makin lama kadang makin keterlaluan."
Mara yang menderngarnya hanya terkekeh, "Males ah, biarin aja."
"Gimana ya, bukannya aku jelekin Nora, tapi kamu pasti juga sadar kalau orang-orang selalu menyangkutkan kamu sama Nora, gamasalah sih kalian juga temen, cuma pandangan orang yang selalu mendulukan Nora apalagi ke kamu takutnya bakal pengaruh juga ke hubungan kalian."
"Aku gak mau ikut campur sih, cuma ngeliatnya kadang gemes greget aja, kamu tuh diem kadang terlalu diem." Ucap Ilyas sambil sedikit menggebrak meja, greget katanya.
Mara mengetukkan jari-jarinya diatas meja, "Gimana ya? Bener sih, aku sadar kok, aku juga udah beberapa kali tegur kalo kamu mau tau, tapi kalo endingnya tetep begini juga males mau negur lagi."
Mungkin kejadian tadi terlihat sepele, namun nyatanya itu tidak sesepele itu, mungkin bagi beberapa orang lainnya juga. Mara tidak masalah mau dia disangkut-sangkutkan dengan Nora sebagai bayangannya—secara kasar. Terlebih lagi secara sifat memang Nora lebih mencolok, tahu sendiri kan orang yang mencolok seperti Nora lalu berteman dengan orang pendiam seperti Mara?
Ilyas pun mengangguk, benar juga sih, kita tidak bisa mengendalikan orang lain, kalau sudah ditegur tapi pada akhirnya tetap begitu pasti juga malas, biarkan saja semua berjalan apa adanya.
"Tapi kayanya beberapa hari ini banyak yang cari Nora ya, tadi juga beberapa kali ada yang nanya ke aku dimana Nora."
"Paling nanya soal project lomba? Setauku dia baru susun project buat lomba, biasa paling Nora ajakin mereka kerja bareng."
Ilyas mengangguk paham, "Kamu gak ikutan, Ra?" Tanyanya penasaran.
"Sebenernya awalnya niat pengen ikut sih, cuma aku gak terlalu tertarik lagi setelah ketentuannya keluar, lombanya juga agak gak sesuai sama kemampuan."
"Tapi kenapa gak dicoba dulu aja? Siapa tau hoki."
Mara tertawa kecil, "Iya kalo hoki, kalo gak?"
Ilyas pun ikut tertawa, tanpa Mara sadari sebenarnya Ilyas juga tahu, Mara bukannya tidak berminat, tapi kadang sahabat bisa menjadi musuh terbesar begitu halnya dengan Mara dan juga Nora. Mara hanya tidak mau nantinya terjadi hal yang tidak diinginkan diantara dia dan Nora.
Terlebih secara sosial, Nora lebih dikenal ketimbang Mara, itu sudah menjadi poin paling berat untuk Mara. Mara itu lebih suka bekerja dibalik layar sampai-sampai orang tidak tahu-menahu soal kerja kerasnya.
Ilyas pun tahu, di lomba ini Nora tidak secara pribadi mengurus project-nya sendiri, Ilyas juga tahu bahwa Mara adalah seorang dibalik konsep apik project lomba milik Nora, tapi Mara lebih memilih diam ketika orang-orang begitu memuja keseluruhan hanya kepada Nora.
Ilyas sebenarnya juga gemas dan tidak mengerti bagaimana pikiran Mara ini berjalan, dia lebih memilih membantu dibalik layar dan tidak dikenal ketimbang mencoba melawan dan menang.
Tunggu, sejak kapan Ilyas benar-benar menjadi orang tua ya?
Bagian 6: Mara bukan Nora [End]
—
Mencoba buat update, tapi lagi-lagi bab ini gak terlalu memuaskan, masih banyak hal yang gak tersampaikan dengan baik dan ploting nya masih acak-acakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE AT FIRST DIE! [ON HOLD]
RomanceAsmara dan Loka, dua manusia yang tidak pernah ada kata akur dalam hidupnya, bertitel sebagai rival satu sama lain membuat mereka menjadi musuh alami sehari-hari, bahkan teman-teman mereka sudah menyerah dan angkat tangan atas mereka berdua. Suatu h...