Ilyas memijit pelipisnya sejenak, lelah dengan kedua orang didepannya. Siapa lagi jika bukan sepasang musuh abadi ini?Orang-orang bilang Ilyas itu seperti orang tua mereka berdua, karena hanya dia yang berani untuk memisahkan mereka jika sedang bertengkar dan tidak segan untuk menegur tegas jika mereka sudah kelewatan.
Walau teguran itu sepertinya tidak pernah berguna.
Untung saja dirinya tadi berinisiatif untuk mengecek mereka berdua, perasaannya bahkan sudah tidak tenang semenjak Pak Bambang mengatakan bahwa akan menjadikan mereka berdua sebagai partner asistennya.
Benar saja, setelah kelasnya selesai-sama-sama menjadi asistem dosen juga, dia segera bergegas pergi ke kelas mereka berdua, belum sampai didepan pintu pun suara gaduh keributan sudah menyapa indera pendengarannya, untung saja disekitar kelas mereka sedang sepi, setidaknya ulah mereka ini tidak sampai ketelinga kaprodi atau dekan fakultas, kan ribet urusannya.
Bak pahlawan kesiangan, Ilyas pada hari itu berhasil menyelamatkan sekitar tiga puluh nyawa tak bersalah, sebelum mereka trauma.
Walau sepertinya sudah terlambat melihat mereka menunduk takut-takut saat dia masuk kedalam.
Berakhir dirinya menyerahkan diri untuk mengawasi mereka, padahal Ilyas ingin sekali kembali kerumah dan tidur nyenyak.
Biasa, ngelembur desain sampai pagi.
"Kalian lanjut, aku awasin dari sini. Kalau sampai ribut lagi aku seret kalian keluar." Ilyas mau tidak mau harus bertindak tegas, kadang pertengkaran mereka berdua itu kelewat batas, entah karena pada dasarnya sifat mereka berdua itu juga yang keras kepala dan kadang tidak mau mengalah.
Omong-omong Ilyas juga penasaran, sejak kapan ya mereka bertengkar seperti itu? Ilyas sebenarnya juga tidak mengetahui secara pasti alasannya, bahkan alasan dia dipanggil orang tua mereka berdua pun juga tidak tahu darimana asalnya. Tahu-tahu dia menyadari banyak yang menjulukinya begitu, katanya hanya dia yang berani masuk kedalam pertengkaran mereka, untuk memisahkan bukan ikut-ikutan. Ilyas sih tidak mau, mottonya dia hanya ingin hidup tenang bersama kucing-kucingnya dirumah.
Namun, pembawaan Ilyas itu memang sangat kalem sih, tipikal softboy dan soft spoken, sifatnya juga dewasa tidak terlalu terburu-buru, penampilannya juga, bukan cowok rebel badboy, biasanya kemeja oversize atau kaos bersama celana kain atau jeans longgar—sejenis baggy jeans atau loose pants mungkin. Ditambah cardigan atau vest kesayangannya, rambut agak ikal dengan potongan twoblock middle part dan kacamata round frame, pokoknya adem, softboy banget . Tapi dia jomblo.
Lagi pula dia heran, memang semenakutkan apa sampai orang-orang enggan untuk memisahkan mereka saat bertengkar, Ilyas tidak sampai digigit atau babak belur, mereka berdua juga hanya berdebat secara lisan tidak sampai tonjok-tonjokan.
Kalau Ilyas ingat-ingat kembali, sudah sejak tahun pertama mereka itu suka bertengkar, sampai sekarang mereka mulai memasuki tahun ketiga mereka, sudah jadi mahasiswa akhir.
Kembali lagi, Ilyas tidak mengetahui secara pasti alasan mereka. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang Loka-karena Ilyas sudah mengenalnya sejak dibangku Sekolah Menengah Atas, Loka pernah mengatakan bahwa dia tidak menyukai sifat Mara, katanya itu membuatnya kesal dan Loka tidak suka orang seperti itu.
Katanya Mara itu sok sombong, bilang tidak bisa padahal mampu-bahkan lebih dari mampu, bukan soal ekonomi tapi soal akademik, dulu mereka memang mengambil satu kelas yang sama, Loka, Ilyas, serta Mara sewaktu itu. Ilyas sih tidak memperhatikan, malas katanya. Toh, sudah ada Loka yang menjadi temannya.
Tapi pada saat itu Loka mungkin melihat suatu hal yang tidak disukainya dari Mara, Loka juga tidak menjelaskan secara spesifik kepadanya, intinya sepanjang semester itu dia sering melihat Mara selalu mengatakan bahwa dia tidak bisa ini itu, selalu tidak yakin akan tugas yang dia kerjakan padahal hasil akhirnya dia selalu mendapat poin bagus. Kalau katanya dia itu merendah untuk meroket, mau pamer pakai sifat sok polosnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE AT FIRST DIE! [ON HOLD]
RomanceAsmara dan Loka, dua manusia yang tidak pernah ada kata akur dalam hidupnya, bertitel sebagai rival satu sama lain membuat mereka menjadi musuh alami sehari-hari, bahkan teman-teman mereka sudah menyerah dan angkat tangan atas mereka berdua. Suatu h...