Bab 9

934 147 24
                                    

Haloooo! Mari kita berjalan mundur dulu. Selamat membaca!!

----------------------------------------------------------------------------------

2018

Dari kejauhan Racha memperhatikan adiknya yang menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tau Pansa sangat kehilangan karena bagi Pansa Bunda mereka adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Pansa. Dia sibuk berkuliah dan baru saja menyelesaikan koasnya di luar kota sehingga sangat jarang untuk menghabiskan waktu bersama. Begitu juga dengan Papanya yang selalu bekerja dan mutasi hampir dua tahun sekali yang membuatnya jarang berada di rumah. Racha berniat menghampiri namun ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang gadis yang lebih dulu menghampiri Pansa. Ia memandangi keduanya, gadis itu terlihat menghibur Pansa begitu jelas karena senyum manis akhirnya terlihat di wajah adiknya. Itu menjadi senyum terakhir Pansa.

Racha tidak melepas pandangannya pada gadis bertubuh mungil yang sekarang sedang berjalan menuju parkiran. Ia tersenyum saat gadis itu berteriak menyemangati Pansa dengan suaranya yang lucu bagi dirinya. Pandangannya kembali menuju Pansa, Pansa mulai memakan makanan pemberian gadis itu yang membuat Racha benar-benar merasa lega. Ia menghampiri Pansa dengan berusaha untuk tersenyum.

"Gak mau makan yang lain? Mau makan di luar?" Tanya Racha setelah duduk di sebelah Pansa.

"Ini kan udah di luar." Balas Pansa yang  tiba-tiba kembali menangis.

"Maksudnya mau makan apa gitu? Yang lebih ngenyangin dari itu." Racha menyeka air mata Pansa yang sudah membasahi pipinya. Pansa menggelengkan kepalanya.

Racha membiarkan adiknya itu menangis, ia merangkul mengelus bahu Pansa lembut. Ia berusaha sangat keras untuk tidak mengeluarkan air matanya karena ia tau bahwa itu akan membuat Pansa semakin sedih. 

Pansa memeluk kakaknya itu dengan erat, ia memilih untuk menangis dalam pelukan Racha. Rasa sakit, duka yang begitu mendalam membuat tangisnya semakin kuat. Badannya bergetar dadanya semakin terasa sesak.

"Bunda cha, bunda kenapa pergi ninggalin gue sendiri." Suara Pansa terdengar serak.

"Gak sa, lo gak sendirian. Lo masih punya gue, masih ada papa juga. Lo jangan kayak gini, Bunda pasti sedih liat lo nangis kayak gini. Kita sekarang cuma bertiga, jadi saling nguatin jangan pernah ngerasa sendirian." Racha mengelus punggung Pansa pelan.

"Lo gak sedih cha?"

Racha melepas pelukannya, "Sedih, gue sedih banget. Tapi gue gak mau Bunda sedih ngeliat kita kayak gini. Bunda gak suka kan kalo kita nangis. Lo tau kan Bunda gampang nangis kalo ngeliat orang lain nangis, makanya stop nangisnya. Kita temenin Bunda, puas-puasin liat Bunda sebelum pemakaman."

.

Hari Pemakaman

Hari itu terlihat mendung, langit seakan ikut sedih dengan kepergian Bunda Pansa. Pansa memegang figura foto Bundanya dengan pipi yang sudah basah dengan air mata. Racha merangkul erat adiknya itu, ia menguatkan walaupun dirinya sendiri juga sangat rapuh. Racha menatap tanah yang mulai menutup peti dimana jasad Bundanya terbaring, Pansa mulai histeris, Pansa melepas figura foto Bundanya dan mendekat ke liang lahat. Racha menahan badan Pansa yang jauh lebih tinggi dari dirinya dengan sekuat tenaganya. Papanya turut membantu saat melihat Racha yang kesulitan, saat itu juga tangisnya tak bisa lagi ia tahan. Racha menangis, rintik hujan mulai turun semakin lama semakin deras. Papanya dan Racha memeluk Pansa dengan erat, mereka berusaha menenangkan Pansa yang sudah tidak bisa mengendalikan rasa sedihnya.

Bunga mulai ditaburkan di atas makam Bundanya, itu menandakan Bundanya sudah benar-benar tidak bisa ia lihat, tidak bisa ia dengar suaranya, dan tidak lagi ada pelukan sehangat pelukan Bundanya. 

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang