Suasana semakin Membingungkan.

23 19 8
                                    

Sejak pagi, seusai membantu persiapan pernikahan Erika. Ketiga sahabat itu berkumpul di ruang tamu, berbicara panjang lebar dengan berbagai topik yang berbeda-beda. Namun, topik utama tetap saja tentang pernikahan Erika yang akan segera digelar. Sesekali, percakapan ketiganya diiringi gelak tawa sembari menikmati camilan di meja.

Erika menyenggol lengan Nala yang kebetulan duduk di samping. "Habis ini giliran Nala. Kira-kira kapan, nih, kamu sama Kak Adit nyusul ke pelaminan?" celetuknya begitu saja tanpa memikirkan reaksi apa yang akan Nala berikan.

Seketika, Naomi yang hendak melahap camilan menegang, melihat ekspresi Nala yang berubah murung karena pertanyaan yang diajukan Erika. Tiba-tiba, dering ponsel Erika memecah ketegangan di antara mereka. Melihat bahwa yang menelepon adalah sang calon suami, Erika segera menepi dari kedua temannya. Melihat kesempatan itu, Nala pun melenggang pergi dari ruang tamu dan naik ke balkon kamar Erika.

Kesendirian menemani Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kesendirian menemani Nala. Kepalanya begitu berisik oleh pertanyaan Erika yang begitu menyayat hati. Dia tidak menangis. Toh, apa yang dikatakan Erika wajar, secara, dia tidak jua mendapatkan kepastian akan hubungannya dengan Adit.

Sebuah tangan meraih pundak Nala yang begitu berat. "Jangan dipikirin, ya, omongan Erika tadi," ujar Naomi. "Aku tahu, kok, apa yang kamu rasain sekarang, Nal. Pasti berat banget, kan, setiap kali pertanyaan itu datang dari orang-orang. Yang sabar, ya, Nal."

Nala mengangguk usai memiringkan badan menghadap Naomi. "Aku nggak pa-pa, kok. Cuman, aku kaget saja pertanyaan itu muncul dari sahabat aku sendiri yang notabene tahu hubungan aku gimana sama Kak Adit." Netra perempuan itu layu, menatap ubin lantai yang kosong. Dia mendesah berat, lalu mengedarkan pandangannya ke hamparan langit malam.

"Aku nggak akan mungkin berada di situasi seperti sekarang kalau Kak Adit kasih kepastian. Hubungan apa yang sebenarnya kami jalin jika tak pernah ada kata ujung di sana. Kamu tahu sendiri, kan, kami sudah bertahun-tahun pacaran, kami juga saling mencintai satu sama lain. Dan saat semua orang mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungan kami, Kak Adit justru selalu bilang, entahlah aku belum kepikiran. Aku benar-benar nggak habis pikir sama Kak Adit," kata Nala berapi-api. Suara perempuan itu bergetar karena menahan tangis.

Naomi mengelus lengan atas Nala, berusaha menenangkan batin sang sahabat. Dia yakin, sakit sekali berada di posisi Nala saat ini.

"Semua pasti ada jalan keluarnya, Nal. Aku nggak bisa bantu banyak hal, karena ini masalah kamu sama Kak Adit. Sebagai sahabat, aku cuman bisa bantu semampuku, kalau perlu, aku akan bicara sama Kak Adit."

Nala menggeleng penuh di sela tangis. "Nggak, Naomi. Ini masalah antara aku dan Kak Adit. Jadi, biarkan kami yang menyelesaikannya."

"Bener?" tanya Naomi begitu iba.

"Iya. Makasih."

***

Perbincangan panjang Nala bersama Naomi rupanya tak serta merta membuat perasaan perempuan berambut panjang dengan model layer itu tenang. Pikirannya masih berkecamuk tak karuan, bukan hanya memikirkan perkara pertanyaan Erika, tetapi juga berbagai perkara yang sudah-sudah. Kelopak matanya berkali-kali dia coba pejamkan, hanya saja, otaknya tak bisa tenang. Alhasil, dia menyingkap selimut yang menutupi separuh badannya dan duduk bersandar kepala tempat tidur.

Nala mengusap wajah lelahnya. "Tenang, Nal. Kak Adit cuman perlu waktu. Lagian, kamu sama Kak Adit sudah janji kalau kami akan selalu bersama. Ya, ini cuman soal waktu. Kamu harus yakin, Nala, kalau sudah waktunya dan Kak Adit siap, pasti dia akan datang menemui ayah dan ibu buat lamar kamu. Ya, ya, hal itu pasti akan terjadi, cepat ataupun lambat." Dia meyakinkan diri sembari menarik ketenangan ke dalam batinnya yang bergemuruh.

Di sisi lain, hal yang sama juga terjadi kepada Adit. Pria itu tak bisa tidur juga karena memikirkan Nala. Dia merasa sangat bersalah telah menempatkan kekasihnya pada posisi yang sulit.

Bukan hanya Nala yang merasa terancam setiap kali pertanyaan kapan menikah datang, tetapi juga dirinya. Justru di sini, beban Adit dua kali lebih berat. Di satu sisi, dia ingin sekali memberikan kepastian kepada Nala dan membebaskan keduanya dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan itu. Namun di sisi lain, dia tidak ingin, setelah mereka menikah, dia menjadi beban bagi sang kekasih hati.

"Maafkan aku, Nal. Aku tidak bermaksud melakukan ini ke kamu. Tapi ini sungguh pilihan yang sulit aku lakukan. Ada banyak hal yang mengganjal. Juga ada banyak keraguan di sana. Aku tidak tahu itu apa. Maaf, Nal."

Adit hendak bangkit dari tempat tidur, baru saja dia menegakkan punggung, mendadak pandangannya kabur, kepalanya terasa ditusuk. Dia menggerang kesakitan. Tak sampai disitu, Adit mulai merasa mual menjalar di seluruh perutnya. Segera saja, dia berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut. Hal itu pun didengar oleh sang ibu. Lekas, sang ibu ke kamar Adit dan mengambilkan obat yang berada di laci meja.

"Ibu akan mengambilkan air putih hangat," ujar sang ibu kepada Adit yang baru balik dari kamar mandi.

"Terima kasih, Bu."

***

Bunyi klakson menarik Nala yang tengah berias di depan cermin. Nala melenggang pergi ke sisi jendela, menyibak tirai. Di bawah sana, dia melihat Adit yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan isyarat, perempuan itu meminta sang kekasih untuk menunggunya sebentar dan memintanya masuk. Tapi pria itu menggeleng. Nala mengangguk. Dia tahu, kekasihnya itu pasti masih canggung dan tak enak hati menghadap kedua orang tuanya setelah kejadian di restoran beberapa saat lalu itu.

Nala tersenyum pada pantulan dirinya di cermin. "Cantik." Satu kata itu lolos dari bibirnya yang mungil. Tidak mau Adit menunggu lama, Nala segera turun ke bawah.

"Berangkat sama siapa?" tanya ayahnya ketika berpapasan di ruang tengah.

"Kak Adit, Pa," jawab Nala lirih.

"Oh. Ya sudah, titip salam buat Nak Erika, maaf Ayah sama Ibu tidak bisa datang karena ada urusan."

"Iya, Yah. Nala berangkat dulu, ya."

Setelah acara pamitan, Nala yang tampil cantik telah bersiap di hadapan Adit. Keduanya tampak serasi dengan warna pakaian yang senada. Semuanya tampak berjalan lancar. Namun tiba-tiba.

"Maaf, ya, Nal, kalau semua nggak bisa seperti yang kamu inginkan." Kalimat itu sontak mengingatkan Nala akan semua perkara yang membelit hatinya akhir-akhir ini, padahal, tadinya dia hanya ingin datang ke pernikahan Erika dan sejenak melupakan semuanya.

Nala menunduk singkat sebelum menatap wajah kekasih yang tengah menyetir. "Iya, Kak. Nggak pa-pa, kok."

"Aku jahat, ya?"

Nala menggeleng singkat, lalu membuang muka ke luar jendela.

Di sepanjang acara, Nala terbuai dengan setiap rangkaian acara pernikahan Erika dan sang suami yang begitu meriah. Bahkan, dia sampai lupa dengan rasa sakit yang menancap di hati dan juga pikirannya. Semua terasa hilang berkesudahan. 

***

Hai hai semua, gimana kelanjutannya. Makin seru atau semakin bosan kah kalian dengan cerita sejoli ini? Aku pun bingung mau nulis nya kek gimana. Ya meskipun ceritanya agak ngawur, I hope you enjoy this story. Jangan lupa vote komennya. Ditunggu☺️🤭✌️

Thief of Happiness (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang