1. Anak Domba yang Hilang

319 57 14
                                    

Jakarta, Indonesia.

Tahun 2023.

"Nggaklah. Nggak ada musuh-musuhan. Gue sama dia masih baik-baik aja. Kalau ditanya, kalau masih baik-baik aja, kenapa putus? Yaa ... itu karena biar semuanya tetap baik-baik aja. Gue ragu, hubungan kami semakin memburuk kalau gue nggak berhenti saat itu juga."

Jakarta pukul 23.33 Waktu Indonesia bagian Barat, alih-alih memutar lagu-lagu tenang sebagai penyembuhan setelah sibuk seharian penuh, si pengemudi Lexus putih itu justru memilih memutar tayangan video podcast, mendengarkan dengan jari-jari mengetuk tanpa suara secara bergantian di roda kemudi.

"Tapi lo masih cinta?"

"Cintalah. Cuma nggak bisa aja lagi sama dia."

"Sesimple itu?"

"Yup! Sesederhana itu."

Tayangan video dua orang perempuan yang sedang bercerita tersebut kemudian berganti dengan tayangan iklan, membuat si perempuan yang duduk di kursi penumpang kontan berdecak, sirat akan ejekan.

"Minimal ambil trial! Nanggung banget nyindir gue pake dijeda iklan segala. Nggak modal lo!" kata perempuan itu sambil membuang arah pandangannya ke sisi kiri, menolak untuk melihat si pengemudi dan melihat baliho-baliho caleg di sepanjang jalan.

Auriga adalah namanya, orang yang dikatai tidak modal oleh Liliana Meizura yang jauh lebih tidak bermodal dan tidak beretika. Sebab ...

"Jauh lebih nggak bermodal dan nggak bermoral elo, Na. Orang gila mana yang ngespam call nyaris tengah malam begini untuk dijemput di Soehatta, hah? CUMA ELO!"

Ya, karena itu.

Perempuan itu, namanya adalah Liliana Meizura yang telah kabur dari Ibukota sejak 8 tahun yang lalu. Auriga sampai menjulukinya sebagai anak domba yang kehilangan arah di negeri orang. Dan hari ini, si anak domba kehilangan arah itu, tiba-tiba saja kembali ke Ibukota. Tidak tahu karena sudah menemukan jalan pulangnya atau sekedar singgah.

"Muka mantan lo nggak ada di spanduk caleg-caleg itu, Na. Nggak usah dicari." Auriga menyelutuk ketika melihat Liliana terus memperhatikan baliho serta spanduk-spanduk caleg yang terpasang di sepanjang jalan. "Kalau lo nyari Abangnya, nah-itu panjang umur," tambah Auriga sambil menggerakkan jarinya, menunjuk salah satu baliho caleg berukuran besar.

Tampak jelas nama Barir Ilyasa Jusuf beserta asal partai, pencapaiannya selama menjabat sebagai anggota dewan, serta visi dan misinya di baliho besar tersebut. Liliana berdecak kecil, lalu menatap Auriga dengan sinis dan bersuara, "nyaleg bukan arena bermain dia, Ga. Gue tahu."

"Ck! Arena bermain kata lo?" Auriga tertawa pelan, tetapi buru-buru kembali serius lagi. "Bener sih. Semua orang juga tahu siapa di balik karir cemerlang Barir Ilyasa di politik selama ini."

...

"Dia udah berkarir di politik dari usia 20-an. Melenggang ke Senayan tanpa hambatan. Tapi ya ... siapa yang nggak tahu seorang Jusuf Manggala? Elektabilitas partainya dari dulu paling tinggi di setiap pemilihan. Ya ... yaa ... Barir kayaknya harus berterima kasih karena bapaknya adalah Jusuf Manggala."

Liliana tidak lagi menanggapi ocehan Auriga mengenai keadaan Indonesia yang tengah ramai sekali dengan isu-isu politik. Percakapan mengenai Barir Ilyasa yang akan digadang-gadang menjadi masa depan Jakarta juga tidak luput dari cerita temannya itu. Ya ... ya sosok Barir Ilyasa memang sudah menjadi pertimbangan sejak lama untuk bakal calon gubernur Jakarta sejak prestasinya di DPR RI menuai banyak pujian. Akan tetapi, yang Liliana lihat setelah 8 tahun dia meninggalkan Jakarta, di pemilu kali ini sepertinya Barir masih betah duduk berkuasa di DPR RI dengan masa pendukungnya yang silih bertambah. Dia tidak heran, terlebih pemilu kali ini banyak generasi muda yang sudah bisa menggunakan hak suara mereka dan Barir Ilyasa memiliki keunggulan untuk dijadikan sosok yang dipertimbangkan untuk dipilih di surat suara DPR RI di pemilu mendatang.

Jangan Lupa PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang