Acara akad nikah Juna sudah selesai sebelum waktu Dzuhur tiba. Tamu undangan yang bisa dihitung jari satu per satu meninggalkan tempat acara. Para tetua sudah meninggalkan lokasi outdoor dan memilih mengobrol di dalam. Mungkin menunggu sebentar sebelum nanti kembali ke rumah masing-masing. Sepasang pengantin baru yang sejak tadi berdiri di pelamiman pun sudah ikut serta berjalan bersama para teman-temannya menuju ruangan khusus untuk mengambil sesi foto sambil bercerita-cerita di perjalanan.
"Kenapa nggak sekalian resepsi sih, Jun?"
Mereka baru tiba di dalam ruangan untuk sesi foto bersama dan Ghea tampaknya memang tidak suka ketenangan. Istri Sena itu selalu mencoba mencari topik agar mereka tidak berhenti berbicara.
"Capekk, Ghe. Nggak betah gue acara seharian. Sumpek." Juna memberikan jawaban seperlunya, kemudian mendorong pelan tubuh Ghea agar mendekati Sena, sang suami. "Lo bawel banget hari ini, Ghe. Sumpah!"
Bukannya tersinggung, Ghea justru tertawa mendengar rutukan tersebut.
Arlian sendiri sudah bersiap, berdiri di belakang seorang perempuan yang dia kenal namanya sebagai Hana, sahabat baik Mikha. Asisten sang fotografer masih mengatur posisi berdiri mereka dan memberikan arahan untuk pose yang sesuai agar terlihat serasi saat nanti dipotret. Arlian mengikuti dengan patuh, bahkan ketika Sena mendorong-dorongnya agar tetap berada di dekat Hana, dia diam saja. Sudah terlalu malas untuk melawan kehendak Sena, karena sudah pasti Ghea akan ikut maju.
"Salam kenal ya, Mas. Aku, Hana."
"Arlian."
Hingga ketika sesi foto bersama selesai, dia yang sedang duduk di pojok ruangan habis menerima telepon dari seorang teman untuk bermain golf bersama, dihampiri oleh Hana. Memang luar biasa sekali mulut Sena. Entah apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu hingga Hana jadi mendekatinya seperti ini, mengajaknya berkenalan lebih tepatnya.
Namun, tidak ingin mendapatkan pelototan lebih tajam lagi dari Ghea, diterimanya uluran tangan tersebut secara singkat dan ikut memperkenalkan diri.
"Mas masih sering komunikasi sama Mbak Anggita? Aku boleh minta kontaknya? Dulu, kami pernah ...."
Arlian tidak terlalu mendengarkan lebih lanjut, karena yang dia lakukan selanjutnya adalah buru-buru mencari kontak milik Anggita dan menyebutkan 12 digit angka dari nomor ponsel mantannya tersebut. Dia mungkin sudah 33 tahun, akan 34 di Februari mendatang dan sudah pasti dikejar untuk dengan pertanyaan kapan menikah. Namun, kata orang, Arlian terlalu pemilih dan banyak maunya untuk standarisasi seorang istri. Tapi, apapun itu, itu haknya untuk menetapkan standar bagi pasangannya kelak, karena lebih baik mencari sesuai apa yang dia inginkan dibandingkan terburu-buru mengambil apa yang ada di depan mata.
"Bro, gue cabut luan ya. Mau ngegolf sama Hakim." Ketika Hana sudah undur diri dari hadapannya, Arlian pun mendekati sahabat-sahabatnya yang masih bercerita di sofa, bermaksud izin pamit luan. "Lo pada, ada yang mau ikut?"
"Ngegolf mulu, Pakkk. Ada yang lo lihat di sana ya?"
Memang. Memang mulut Ghea itu sudah seperti kompor gas meleduk.
"Mbak mantan kan, akhir-akhir ini rajin ngegolf di Semesta."
Dan cocok memang sama Sena. Ghea kompor gas meleduknya, Sena sebagai bensinnya.
"Bangsat!" Hanya itu yang bisa Arlian katakan, sebelum dia benar-benar pamit untuk undur diri lebih awal dari acara akad nikah Juna yang sangat-sangat intimate wedding.
**
Jika RSJ Maharani bisa sangat mampu menyembunyikan keberadaan seseorang dari dunia yang semakin kejam, maka Semesta Land bisa menutupi segala tindakan asusila dan kejahatan di balik pintu gerbang besi putih di depannya. Ada beberapa kasus yang simpang siur mengenai tindak kejahatan di Semesta seperti penembakan, penyiksaan, bahkan hingga dahsyatnya lubang dosa. Hanya saja, hal itu tidak pernah tercium oleh dunia luar. Ada privasi yang diberikan oleh Semesta Land kepada para member bintang 5-nya dan harga keanggotaan tersebut tidaklah murah. Ada harga yang sangat tinggi untuk sebuah kebebasan dan privasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Lupa Pulang
FanfictionSelama 8 tahun, London tidak membantu Liliana untuk melupakan semuanya. Bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak diizinkan.