3. Semesta Land

303 60 13
                                    

Liliana tidak suka keramaian. Setiap  dia diajak untuk menghadiri sebuah acara baik itu pesta atau ramah tamah, dirinya hanya bisa bertahan paling lama setengah jam untuk terlibat obrolan. Di menit selanjutnya, dia akan mulai mencari-cari alasan untuk menyingkir seperti harus ke toilet, menelepon seorang rekan, dan alasan-alasan acak yang terkadang tiba-tiba muncul.

Waktu delapan tahun bahkan tidak bisa mengubah kebiasaan tersebut.

Ketika Auriga mengajaknya untuk menghadiri pernikahan seorang teman,  Liliana merasa sedikit tenang karena kecil kemungkinan untuk bertemu dengan orang yang dia kenal di relasi Auriga yang kebanyakan dari badan hukum. Maka ketika dia mendapati Nadhra di acara pernikahan tertutup pagi ini, Liliana tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia sudah akan menghindar ketika dilihatnya Nadhra turun dari tangga, kemudian berjalan ke arahnya.

Demi semesta, dari sekian banyak relasi Auriga, kenapa harus ada Nadhra di dalamnya? Antara dokter dengan pengacara itu sangat jauh dan kemungkinannya kecil untuk memiliki relasi bisnis.

"Hai, Mbak." Nadhra datang menyapa dengan senyum tenangnya yang sangat mirip dengan Senandia Aufara, sang mama. "Apa kabar?"

Liliana berusaha untuk mengukir senyum di bibir, meski terasa sangat aneh untuk saat ini. Anggota keluarga Jusuf merupakan kumpulan orang-orang yang sejujurnya tidak ingin Liliana temui di awal kedatangannya di Jakarta.

"Baik, Nadh. Kamu sehat juga, kan?" Itu pertanyaan basa-basi, karena dia tidak tahu harus melemparkan pertanyaan apa pada anak ketiga Jusuf Manggala ini.

"Tentu. Sudah lama di Jakarta, Mbak?" Nadhra bertanya sambil menyerongkan tubuhnya untuk meraih dua gelas minuman dan menyerahkan yang satunya kepada Liliana. "Ah, pernikahan Mas Emier, ya?"

Lagi-lagi, Liliana mencoba tersenyum layaknya wanita karir yang profesional. "Yup! Thanks," katanya sambil menggoyangkan sekali gelas yang berada dalam genggaman. Dia dan Nadhra kemudian saling diam.

Liliana berharap Auriga segera menuntaskan perbincangan serunya dengan teman-temannya di pojong ruangan, karena dia sudah sangat gerah. Terlebih dengan keberadaan Nadhra di depannya. Tidak, mereka tidak pernah punya masalah di masa lalu. Hanya saja Nadhra Aufara Jusuf bukan sosok yang mudah dihadapi dan asyik diajak ngobrol layaknya Viona yang lebih bisa berbaur.

"Nadh, sepertinya kita nggak punya sesuatu yang cocok untuk diperbincangkan. Aku bisa undur diri?" Liliana mencoba pamit dengan sopan, karena Nadhra selalu menggunakan kalimat yang sedikit formal ketika berbicara dengannya.

Mendengar kalimat izin pamit tersebut, Nadhra tersenyum kecil. "Tentu, Mbak. Ketemu di lain waktu ya."

Jengah. Itulah yang dirasakan oleh Liliana ketika Nadhra terus tersenyum dan memperlihatkan ekspresinya yang terlalu ramah. Bagaimana bisa orang yang dikenal sangat tertutup itu, terus menerus tersenyum ketika sedang tidak ada topik yang dibahas? Rasanya mengerikan terus berada di dekat Nadhra. Akan jauh lebih normal jika Nadhra melemparkan banyak kalimat sinis penuh sindiran kepadanya setelah apa yang pernah terjadi 8 tahun yang lalu.

Ya, rasanya lebih normal seperti itu, dibandingkan senyuman yang dia terima tadi.

Auriga masih berbincang seru dengan teman-temannya, ketika sebuah tangan menarik lengannya dan menyeretnya keluar dari acara tanpa suara. Orang itu adalah Liliana, yang raut wajahnya sudah seperti siap untuk memaki siapa pun saat ini. Jadi, Auriga memilih diam, meski dia masih ditarik dengan kasar oleh perempuan tak beretika dan beromal itu.

"Apa, Na? Apa?"

Mereka berdua sudah berada di pelataran parkir gedung, dengan tamu undangan yang baru berdatangan. Saat ini sudah menyentuh pukul 1 siang dan Auriga sadar bahwa dia menahan Liliana cukup lama di acara ini, di acara yang sangat tidak disukai oleh sahabatnya itu.

Jangan Lupa PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang