06. Desir kentud di padang tandus

172 47 6
                                    

"Apa semuanya dapat terkendali, Yoor?" ucap seseorang dari sebrang membuat sang penerima telepon berdehem sembari melirik tajam sekitaran, terkadang juga membenarkan earpiece miliknya.

"Aman, pak. saya sekarang sudah berada dikawasan! didepan gerbang tadika timpuk."

"Bagus! teruskan! jangan sampai lengah sedikitpun!"

"Baik.."

Eunchae hanya dapat kedip-kedip melihat om tinggi yang tengah berjualan bakso didepannya, seperti orang sedeng dengan alat yang melekat pada telinganya itu. dari tadi pula ia hanya mengaduk-aduk kuah bakso yang sudah lama blubuk-blubuk mau keluar dari panci.

"Bang, kapan jadinyaaa???!!!" pekik Eunchae keras-keras, membuat sang penjual tersentak.

"Eh iya maaf, dek." buru-buru ia memasukan segala bahan dan topping yang menggunung kedalam mangkok. setelahnya memberi kuah yang luar biasa banyak kemangkok jumbo.

"Ya Allah, bang. gue pesen goceng doang loh ini!.. ini nyampe tumpah-tumpah bjirr!"

"Emang segini biasanya berapa ya, dek?"

Eunchae mengangkat kedua tangan dengan jemari sebelah kiri membentuk piece dan tangan kanan mengangkat lima hijir.

"Ohh.. dua puluh lima.." sang paman mengangguk-angguk, mulai mengerti.

"Tapi ini beneran goceng kan bang?"

"Iya."

"Btw.. nama abang sapa dah? aing baru liat.. mana abang bentukannya kek bukan penjual bakso lagi.."

"Haha.. enggak kok, sama aja. ada gerobak, ada baksonya, terus pake baju kebangsaan paman-paman bakso.. coba, kurang penjual bakso apalagi abang nih?"

"Tapi bang.. badan abang kekar dan tinggi abis.. terus-- bruuueekkk!-- adedeh bang keselek hahh.. tolongin Eunchae!!"

Melihat Eunchae keselek biji pentol, sang abang terlihat gesit menuju kebelakang, memeluk anak kambing itu lalu mengangkat tubuhnya sembari menghentak-hentakan dan mengguncang-guncangkan tubuh sang anak sampai akhirnya sebilah pentol berukuran sebiji alpukat keluar dari mulut Eunchae.

"Hadeehh, segede itu kamu telen bulat-bulat.. kan keselek." ucap sang paman, seraya beranjak kembali kekursi miliknya.

Eunchae cuman nyengir kuda kemudian kembali memakan bakso didalam mangkok. "Bang, minta air minum dong.. seret enih.."

"Oke.."
Dengan mata yang masih terfokuskan pada ruko gelap yang berada di gang kecil diseberang. sang paman terlihat menuangkan seember air putih dingin dari pegunungan meratus ke gelas kristal baccarat milik Eunchae.

Kemudian ia terlihat menyerahkan gelas itu pada sang anak tanpa mengalihkan barang sedikitpun pandangannya.

Eunchae kembali menyerngitkan alis melihat gelagat om ketinggian yang tidak meyakinkan ini profesi aslinya. "Ngeliat apa sih bang?" ujar Eunchae sembari komat-kamit setelah meminum air comberan di gelas, merasakan kulit cabe masih nyempil disela-sela gigi.

"Hm? enggak.."

"Kita gak berani deket-deket ruko itu loh bang!.." ucap Eunchae sok misterius.

"Kenapa?"

"Orang gak beres semua yang kesana! pada nyabu! pihak sekolah aja gak berani ngusir mereka soalnya ada preman tiga biji yang serem-serem abis!! hiiiggkkhhh, takuttt!"

"Kenapa gak lapor polisi?" sang abang mendekatkan kursinya pada Eunchae.

"Udah pernah.. tapi gak digubris.."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HouseholdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang