Akhirnya hari ini pun tiba.
Aku akan pulang.
Kupanggul tas yang ukurannya lebih gendut dari ukuran biasanya dengan lebih bersemangat. Bersamaan kantong plastik hitam ukuran jumbo yang kutenteng. Badanku rasanya lengket karena sudah 3 hari tidak mandi dengan benar.
"Hanna, kamu sudah telepon ibumu belum?" Tanya Dahlia.
Kami berjalan bersisian menuju parkiran di belakang sekolah. Dahlia membawa motornya sendiri, sedangkan aku tidak. Aku hanya menemaninya saja.
Kuanggukkan kepala sebagai jawaban. Saat ponsel kami semua dikembalikan oleh Kakak Ambalan—kakak tingkat yang menjadi panitia pelaksana kemah, aku langsung menelpon Mama untuk menjemputku.
Kami berdua sampai di parkiran belakang sekolah, Dahlia lekas mempersiapkan sepeda motornya dan membereskan barang bawaannya yang terdiri dari beberapa barang, seperti satu panci kecil dan piring plastik yang dia bawa dari rumah untuk regu kemahnya. Aku sendiri hanya membawa beberapa cangkir plastik dan mangkok kecil.
Aku dan Dahlia tidak berada dalam satu regu yang sama. Kami terpisah karena pemilihan anggota regu yang menggunakan cara berhitung mulai dari angka 1 sampai 4 saat semua murid disuruh baris dua berbanjar. Dihitung dari ujung kanan depan lanjut ke samping kiri. Begitu terus sampai pada giliran aku lalu disusul Dahlia. Kami berbaris berdampingan, otomatis angka yang kami dapatkan pun berbeda. Oleh karena sistem pengelompokan regu berdasarkan murid yang angkanya sama, kami pun harus berpisah.
Di parkiran tersebut, ada beberapa kakak tingkat yang bersiap-siap untuk pulang. Beberapa kali kami menyapa mereka yang sebagian memang sudah kenal dan lumayan sering berinteraksi. Yang tidak kami kenal pun tetap kami sapa karena takut dianggap tidak menghormati.
"Akhirnya, setelah ini kita ga kemah lagi." Kata Dahlia seraya menghela napas lelah.
Gadis yang merupakan sahabatku sejak SMP itu berjongkok di samping motornya sambil mengungkapkan rasa syukur sebab bisa segera pulang ke rumah. Aku terkekeh melihatnya membelai sayang motor matic yang dia beri nama Nana.
Aku menggeleng heran. "Ini kalau si crush liat kamu mesra-mesraan sama Nana, apa nggak bengek dia."
Dahlia terbahak. "Kayaknya aku gabakalan bisa nampakin muka lagi. Malu, lah!"
Kami tertawa bersamaan, tetapi kemudian terdiam saat ponselku berbunyi. Itu suara notifikasi pesan. "Mamaku sudah sampai." Kataku memberitahu.
Aku lantas berpamitan dengannya untuk segera menyusul Mama yang sudah menungguku di depan pagar sekolah.
Dahlia juga bersiap menyalakan motornya. "Kalau begitu sekalian aja yok, barengan. Lumayan sampai pagar sekolah," tawarnya setelah memundurkan motornya sekaligus memutar arah.
Tentu saja aku tidak menolak. Setelah mengucapkan terimakasih penuh kasih sayang dengan bumbu alay, kududukkan bokong pada jok motor. Lumayan 'kan memangkas waktu jalan kaki dari parkiran belakang sekolah sampai ke pagar depan.
Bangunan sekolah kami terbilang panjang. Jadi, cukup memakan waktu apabila berjalan kaki saja. Ditambah barang bawaan yang serba gendut. Tinggal memperkirakan waktunya saja kapan tungkai kakiku bisa bertahan setelah sepak terjang yang telah dilalui selama perkemahan. Capek cuy.
Sekali lagi aku berterimakasih sekaligus berpamitan dengan Dahlia. Kami berdadah-dadah sesaat sembari menunggunya menyeberangi jalan raya provinsi yang dipadati oleh mobil-mobil pribadi juga motor. Padahal sudah sore, tapi masih padat juga kendaraan yang berlalu lalang.
Di dekat pagar sekolah, dapat kulihat Mama yang sudah datang menjemputku dan tengah berdiri di samping mobil pikap.
Tak jauh dari sana, ada beberapa anak cewek yang aku kenal dan sudah siap di atas jok belakang sepeda motor yang dikendarai kakak atau ayah mereka. Salah satu di antara anak yang kukenal, di sana ada teman sekelasku. "Duluan ya, Hanna!" Pamitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Wall
General FictionKehidupannya yang santai dan biasa saja berubah menjadi kacau balau semenjak kedatangan sang paman ke rumahnya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi Hanna, nyatanya bagai berada di dalam kandang predator. Bahkan di kamarnya sendiri pun...