Chapter 2

13 2 0
                                    

Sesampainya di rumah, tanpa bisa menunggu mandi terlebih dahulu kuhempaskan raga pada kasur yang terlihat lebih menggoda setelah kutinggalkan selama 3 hari 2 malam. Mungkin penampakanku sudah seperti seekor paus yang terdampar di pasir pantai saja.

Aku pandangi plafon merah muda yang ditengah-tengahnya terdapat bola lampu. Menyinari seluruh ruangan dari sudut ke sudut. Semerbak aroma lavender berasal dari pengharum ruangan yang tergantung pada jendela kamar. Cat dinding berwarna merah muda, warna kesukaanku sejak kecil hingga sekarang. Gorden yang juga berwarna merah muda semakin memanjakan mataku yang saat kecil adalah seorang maniak merah muda. Tentu, hanya berlaku pada furnitur di kamarku saja.

Suasana ini—benar kata orang. Rumahku, istanaku.

Salah satu alasan aku betah-betah saja di dalam kamar meski sering ditinggal sendirian di rumah oleh Mama dan Ayah semasa masih hidup, ya, karena ini.

"Akhirnya kita kembali bersama lagi, George sayang." Kupeluk erat-erat George—boneka teddy bear kesayanganku. Boneka ini adalah hadiah pemberian Ayah pada ulang tahunku yang ke-17 beberapa bulan lalu. Sekaligus hadiah terakhir dari Ayah sebelum kepergiannya untuk selamanya.

Terdengar pekikan membahana Mama yang terasa dekat dengan kamarku. Pintu kamar berderit, sepertinya itu Mama. Pintunya memang sengaja tidak kututup rapat, hanya menyisakan beberapa sentimeter saja celah yang tercipta. Soalnya setelah rebahan aku akan langsung mandi. Kamar mandinya ada di luar, tidak berada di dalam kamar.

Pengennya sih ada kamar mandi di dalam kamar, tetapi akan memakan ruang baru. Sementara kamarku termasuk minimalis.

Mama memekik dibelakangku. "Hanna! Ya ampun ... anak gadis. Mandi dulu, baru tiduran di kasur. Baru Mama cuci loh, sepreinya."

Aku terkikik. "Pantesan wangi, makasih Ma!" Karena posisiku yang sedang memeluk George miring ke kanan, jadi aku sedang membelakangi pintu juga Mama (pintu berasa di sisi kiriku).

Jeritanku melengking bersamaan dengan tamparan maut Mama pada bokongku mengalun di dalam kamar. Pedas sekali bokong teposku sekarang. Mama tega sekali. Andai kata aku jadi seorang tokoh di kartun animasi, bokongku pasti sudah memiliki rona seperti mengenakan blush on saja.

"Sakit, Ma! Bokongku habis jatuh waktu main wide game di kemah tau." Protesku sembari bangkit berdiri dari rebahan.

Mama menghela napas berat. "Makanya buruan mandi. Om udah hampir sampai katanya. Cepetan sana kamu mandi!"

"Iya-iya."

Meski ogah-ogahan, aku bergegas menjangkau handuk mandi di gantungan dibalik pintu. Meninggalkan Mama di dalam kamar, aku melesat keluar menuju kamar mandi.

****

Menurutku, Mama terlalu berlebihan dalam menyambut kedatangan Om Bagus ini. Kenapa malah jadi seperti hendak memberikan kejutan untuk merayakan orang yang ulang tahun? Pakai kue segala. Balon-balon juga ada.

Atau aku yang kolot. Tapi, aku yang paling muda di sini 'kan.

Aku sendiri sudah selesai bersiap. Hanya mengenakan baju piyama bermotif hello kitty, sebagaimana malam-malam biasanya. Tidak seperti Mama yang mengenakan dress cakep kesayangannya.

Sekilas info. Saking sayangnya Mama dengan dress itu, ini kali kedua wanita yang melahirkanku itu mengenakannya.

Jemariku menangkap balon-balon udara cantik di dua sudut dinding ruang tamu. Pandanganku jatuh pada Mama yang tengah sibuk dengan ponselnya, duduk di atas sofa sembari memangku confetti.

Kuputuskan menghampiri Mama dan menjatuhkan bokong pada sofa di dekatnya. "Emangnya Om ulang tahun, Ma?" Tanyaku penasaran.

"Enggak, tapi apa salahnya Mama mau menyambut dengan totalitas." Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, Mama menjawab rasa penasaranku sedari tadi.

Behind The WallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang