Harga Diri

3 0 0
                                    

"Kamu yang tadi nabrak orang di lorong ya?, orangnya nungguin tuh," ucap Vania yang menunjuk kearah pintu kelas ini. Terlihat Edward sedang beradu argumen dengan Herman.

"Eh iya Van," jawabku sambil menatapnya, tatapanku fokus melihat keindahannya yang mirip-mirip dengan beberapa wanita cantik dari ras Elf.

"Loh kok kamu tau namaku?," saut Vania memelototi ku.

"Woi banci, sini lu!, kalau ada masalah itu diselesaiin jangan malah kabur," Teriak Herman yang langsung mengalihkan pandanganku dan Vania.

*Plakk...
Satu tamparan dari Edward mendarat di wajah Herman. Herman kebingungan, tanpa sempat direspon oleh herman, Edward langsung menendang perut Herman dengan lututnya.

*Dugg...
Buku sejarah tebal yang dipegang oleh Edward diayunkan ke muka Herman.

*Dagg...
Edward mendorong wajah Herman pada kusen pintu dengan kedua tangannya.

Herman pingsan ditempat, hidungnya mimisan. Ruang kelas kala itu ramai dengan suara teriakan wanita. Para anak laki-laki ternganga melihat apa yang baru saja terjadi.

Aku langsung pergi menghampiri Edward tanpa sempat menjawab pertanyaan dari Vania, aku khawatir dengan yang akan terjadi setelah ini, aku khawatir ini akan mengganggu urusan Edward dalam hal akademik.

"Edi, kenapa?," tanyaku pada Edward.

"Gua kena ciprat ludah ini anak, waktu dia lagi teriak tadi," Jawabnya yang kemudian menunjuk badan Herman yang tengah tergeletak.

Aku tertawa, aku tahu betul bukan itu alasannya, Edward memang tidak suka mengakui waktu-waktu ia membelaku. "Hahahaha, lagu lu, kaya gua gak tau elu aja Ed," saut aku. "Terus gimana alasan lu waktu ngejelasin ini nanti?, gua khawatir ini berpengaruh ke nilai elu," lanjut aku khawatir pada Edward.

"Udah lu tenang aja soal ini, kita kan punya dia, pengacara muda," jawab Edward sambil mengarahkan telunjuknya kearah Tommy. Tommy baru sampai kembali ke kelas setelah makan siang di kantin dengan Eva, sang wakil ketua osis sekaligus pacarnya yang sempat kuceritakan. Tommy kembali seorang diri.

Dia sedikit kewalahan menyisir kerumunan untuk dapat mengetahui apa yang menyulut keramaian ini. "Sinting, lu apain dia Pan?," ujar Tommy menyalahkan aku atas peristiwa ini. Aku menggelengkan kepala, lalu langsung ku tunjuk si Edward. "Dia Tom," saut aku.

"Edi, ini di sekolah lho, lu serius?," tanya Tommy kepada Edward yang sedang mengelap kacamatanya. Edward lanjut merapikan sampul plastik pada buku sejarah yang digunakannya untuk menghajar Herman. "Gua percaya lu Tom, itu anak udah mencemari nama baik temen kita, dia ngatain Arpan banci," jawab Edward sambil sibuk merapikan sampul yang tak kunjung selesai.

"Yang ramai-ramai disana, bubar!!," terdengar teriakan keras dari orang yang jauh berada di sisi lain lorong yang menghubungkan antar kelas di sekolah ini, membubarkan kerumunan saat itu. Saat orang itu mulai mendekat, barulah kami tahu kalau itu adalah Pak Irfan, kepala sekolah ini, kepala sekolah yang sangat disegani murid-murid disini karena sifat darinya yang tegas dan bisa dibilang kasar. Kepiawaiannya dalam menangani berbagai permasalahan di sekolah ini membuatnya terkenal sebagai sosok yang lugas.

"Saya dapat laporan tentang kamu, Edward Alvaro. Kamu ikut ke ruangan saya sekarang, Tommy kamu dampingi dia, kamu Arfandi, bantu Tommy angkat Herman ke UKS, tunggu sampai dia sadar, lalu bawa dia ke ruangan saya," beberapa perintah mulai di berikan oleh Pak Irfan, kepala sekolah dengan rambut botak plontos yang tertutup kopiah hitam, dengan kacamata rabun dekat yang melekat pada matanya. Didampingi pula oleh kumis tebal yang melintang diatas mulutnya.

"Siap Pak!," jawaban kompak dari kami bertiga.

Sementara Edward ikut bersama Pak Irfan, aku dan Tommy mulai menaruh kedua tangan Herman di bahu kami, kami mulai membawanya menuju UKS untuk mendapatkan pertolongan.

Lama kami menunggu, Herman tak kunjung siuman, aku dan Tommy diperintahkan untuk tetap menunggu sampai Herman
tersadar, suntuk kami menunggu. Aku dan Tommy mulai mengobrol, kami mengobrol diluar dengan duduk berhadapan diluar tirai yang menutupi Herman saat tak sadarkan diri.

"Pan, gimana kalau ini nanti malah bikin nilai si Edward turun, terus gimana kalau sampe orang tuanya tau?," ujar Tommy, membagikan kebingungannya kepadaku. UKS mengharuskan kami untuk bicara dengan pelan, hal itu membuat Edward berbisik untuk menyampaikan pertanyaan ini.

"Itu yang gua pikir dari awal, gua udah sempet tanya ke si Edi langsung, tapi dia cuma bilang kalau dia percaya elu sepenuhnya," jawabku.

"Gua ga yakin sama rencana yang udah gua susun di kepala, tapi apa salahnya mencoba kan?, gua bakal diplomasi dengan cerdas sama Pak Herman," lanjut Tommy seolah meragukan kebijakannya, namun aku menangkap ini sebagai bentuk kerendahan hatinya.

"Tom, atur aja udah, gua pusing juga ini, soalnya kan ini anak awalnya bermasalah sama gua, lagipula masalahnya cuma sekadar gua nabrak dia waktu gua lari, untuk pergi dari kelas lu tadi," jawabku.

Ditengah pembicaraan kami, Tommy terlihat kaget, dia dengan gemetar menunjuk kebelakang ku, sontak ia berteriak

"Arpan, awas!!!," kata Tommy.

Aku pun langsung menoleh kebelakang tanpa banyak berpikir. Tanpa kami berdua sadari, Herman telah bangun dari tidurnya. Dengan memegang kotak P3K, tampak kalau dia akan segera memukulku.

Achilles (The Aberdeen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang