1. Arpan

13 3 1
                                    

*Kringgg.... kringgg.....

Bel tanda masuk tengah berteriak memberi isyarat kepada para anak di SMA 6 Cempaka bahwasannya jam pelajaran telah dimulai.

****

aku yang tengah berada di parkiran motor di dekat sekolah yang menjadi tempat anak-anak yang belum mendapatkan SIM untuk memarkirkan kendaraannya pun mulai menghisap dengan kuat batang rokok filter ini untuk terakhir kali di pagi ini. Parkiran ini juga turut serta hadir sebagai salah satu kandidat tongkrongan yang hits bagi para siswa SMA kami, walaupun isinya kebanyakan anak-anak berandal yang berangkat sekolah hanya untuk mendapatkan uang jajan, untuk kemudian digunakan sebagai biaya nongkrong seharian di parkiran dengan tajuk Parkiran Dongker, nama yang diambil dari warna dominan cat tembok di tempat ini, yaitu biru dongker. Setelah melakukan isapan itu aku pun langsung mengeluarkan langkah tupai, dengan gerakan yang lincah bak tupai aku mengarahkan kendali kakiku ke gerbang sekolah. Setelah berlari selama 5 menit akhirnya aku pun sampai. Seperti hari biasanya, kali ini aku bertemu dengan Tommy, ketua osis sekaligus sahabat karibku yang kulihat sedang menutup gerbang.

"Tompel, Stop!, Alexander the great baru tiba!, tolong bukakan pintu untukku!," gurauku menyelipkan sedikit permintaan tolong untuk Tommy agar memberikan sedikit celah pada gerbang agar badanku dapat melewatinya.

"Astaga pan, gua mah gapapa kalau cuma sekali lu telat, tapi ini satu semester!. Kalau sampe ada anak yang cepu soal gua yang biarin lu masuk setelah bel dibunyiin, jabatan gua dipertaruhkan pan!," bisik Tommy sembari melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar percakapan kami.

"Gua janji ini terakhir deh Tom, kalau gua ingkar janji, gua bakal janji lagi," Jawabku bergurau.

"Ah tai lu, udah sana buru, oh iya, kaga lucu itu candaan kuno lu, jangan dipake lagi," balas Tommy.

"Siap ketua, respect abangku!," ucapku yang akhirnya menyudahi percakapan.

Setelah selesai dengan Tommy, aku langsung buru-buru melakukan langkah seribu menuju ke kelas, ditengah perjalanan aku bertemu dengan Maretha, seorang gadis di kelasku
yang terbilang pendiam, misterius, dan anti sosial. Aku melihatnya berjalan keluar dari kelas dengan tas ransel berwarna putihnya yang ia gendong dengan erat, rambutnya yang memiliki panjang hanya seleher, dengan kacamata putih bulatnya yang nyentrik. Dia berjalan berlawanan arah denganku, hingga akhirnya kaki kami bertemu di tengah perjalanan, ku hentikan langkah kakiku, mencoba ramah dengan menegurnya.

"Halo!, lu mau kemana, kok ga masuk kelas?," tegur aku sembari tersenyum manis.

"Gausah sok asik deh lo, urus aja urusan lo sendiri!," jawaban dengan nada lembut yang dipadu dengan senyum manisnya itu mampu membuat kesan yang pahit, sungguh wanita yang jago dalam soal multitasking.

Sempat aku terdiam ketika mendengar jawaban itu, sungguh obrolan dan kesan pertama yang luar biasa. Aku pikir ketika melakukan hal yang baik kepada orang lain, mereka akan membalasnya dengan baik pula, namun akhirnya aku tersadar, bahwa rupanya aku kurang pandai dalam berpikir. Lama aku terdiam sampai aku tak sadar kalau Maretha telah berjalan cukup jauh, aku pun mencoba melupakannya dan mulai bergegas jalan menuju kelas.

Achilles (The Aberdeen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang