Aku memandang gedung itu sekali lagi. Hari ini sudah terhitung 4 kali dalam seminggu aku memandang gedung itu ditempat yang sama, dari lantai lima kantor pusat berada.
Ya, Adaro. Gedung yang selalu kau ceritakan seharusnya menjadi kantormu. Seharusnya kau bekerja disitu yang sesuai dengan jurusan kuliahmu, seharusnya bukan bekerja di pabrik seperti sekarang. Begitu bukan?
yang akan selalu kubalas belum rezekinya mas, atau insyaAllah nanti ada saatnya kamu disana. Syukuri yang ada sekarang, pekerjaanmu sekarang juga gak kalah bagus.
"Aku harus pindah dari sini, kalau mau nikahin kamu." Kata-kata itu masih ada di otakku. Katamu, yang masih punya daya juang kala itu.
Abizar Pratama. Sosok yang kukenal sejak lama. Sejak hidup hanyalah soal belajar di sekolah setengah hari, tidur siang, mengaji dengan bedak dempul di sore hari, dan bermain setelahnya yang adalah (bonus).
Abizar si ambisius, Abizar si primadona yang kala itu sudah disukai kakak-kakak dari Sekolah Menengah Pertama di seberang sekolah kami yang masih dibangku sekolah dasar, Abizar si takut kepanasan, Abizar yang akan berlomba denganku untuk jadi juara kelas, Abizar yang harus menerima kepalanya yang benjol karena jatuh dari lantai dua ketika mengambil tempat pensil yang dilempar Roni, Abizar yang harus pakai payung untuk main masak-masak di rumahku karena diluar panas, Abizar si plin-plan, Abizar si tidak tertebak, Abizar si misterius.
Orang yang penuh dengan tanda tanya ketika berada didekatnya. Sesosok yang selalu ada dalam ceritaku, sesosok orang yang selalu hadir ketika aku bercerita pada temanku, sampai temanku merasa kenal pada sosok Abizar yang belum pernah ditemuinya. Orang yang selalu menjadikan reuni terasa spesial karena diperlakukan spesial oleh ia seorang. Meski setelahnya, tanda tanyalah yang berada diotak berusaha mencari jawaban—menerka jawaban apa yang tepat dari perlakuannya selama ini.
Tidak ketemu.
Bertahun-tahun lamanya, tidak ada jawaban yang tepat untuk semua perilaku manisnya kepadaku. Hanya abu-abu yang dia hadirkan untuk selalu kupertanyakan sendiri, ke diriku. Namun tujuannya tetap bukan aku.
🪸
Lembaran cerita itu nyatanya belum selesai. Dunia seakan ingin ikut serta menjadi pemanis paling handal yang membuat kita berpikir bahwa itu, takdir.
Aku bertemu dengannya dari hal yang tidak terduga, tempat dan waktu yang tidak terduga—juga. Sawahlunto, Padang bukan tempat yang ada dipikiranku untuk melanjutkan lembaran cerita yang masih terus berlanjut.
Kami bertemu di Mak Itam, salah satu tempat makan di Sawahlunto yang terkenal. Mengambil konsep di dalam gerbong kereta pada kereta api yang sudah tidak beroperasi. Mengobrol dalam keadaan sedikit canggung karena sudah lama tidak bertemu dan memutuskan untuk mengitari kota Sawahlunto dengan sepeda motor milik temannya yg berhasil ia pinjam untuk menemuiku.
"Jauh dari tempat lo kesini, Zar?." Tanyaku. Yang duduk di motor bersamanya dengan hembusan angin yang cukup kencang malam saat itu.
"Dua puluh menit sih. Mana gak ada lampu penerang jalan, sambil zikir sedikit tadi. Hahaha." Katanya, mencairkan suasana.
Kemudian ia melanjutkan bercerita sedikit tentang Sawahlunto yang ia tahu. Sawahlunto merupakan salah satu kota yang memiliki banyak wisata sejarah dari penjajahan Belanda dan Jepang. Kota yang memiliki warisan batu bara yang masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO. Sawahlunto juga memiliki danau yang sangat indah. Danau yang warnanya biru seperti pada lukisan, danau yang terbentuk dari bekas galian tambang batu bara yang dikenal dengan Danau Biru.
Kami memutuskan untuk duduk didepan hotel tempatku menginap setelahnya. Kami bercerita tentang kesibukan masing-masing pada saat itu. Tawa kami lepas, aku seakan memaafkannya untuk segala hal abu-abu yang selalu ia hadirkan tanpa sengaja. Ia sempat bertanya kapan rencanaku balik ke Padang Kota, mungkin bisa jalan sekali lagi sebelum aku kembali ke kota yang lamanya 2-3 jam dari Sawahlunto, tawarnya?
Tidak ada penyesalan soal hal kenapa kami bertemu di Sawahlunto. Sawahlunto akan selalu menjadi memori indah yang tidak disangka, pertemuan yang benar adanya tidak direncanakan dalam kepala sedikit pun. Jika disuruh mengulang, aku tetap akan menghadirkan Sawahlunto sebagai bagian dari cerita.
Tapi seharusnya cerita berhenti sampai disitu. Cerita tidak boleh berlanjut dengan segenap harapan kedepannya. Dia seharusnya melanjutkan ceritanya dengan orang lain, begitu pula denganku. Aku, Abizar, tidak boleh menjadi "kita."
"Kita" yang digadang-gadang tepat adanya diumur kami yang sekarang. "Kita" si punya mimpi yang sama kearah yang lebih serius. "Kita" yang dirasa punya banyak kesamaan dan kecocokan satu sama lain. "Kita" yang saling memendam rasa sejak dulu karena tidak mau menyakiti satu sama lain setelahnya. Kita—yang pada akhirnya tidak menjadi apa-apa.
Harapan terjadi karena ada pergerakan. Pergerakan yang direspon baik oleh sang empunya hati—aku. Aku si minim romantisasi diperlakukan dengan sangat baik setiap kami bertemu, yang pada akhirnya aku tahu "kamu selalu jadi orang pertama yang aku hubungi setiap ada reuni, dan aku akan selalu mengusahakan supaya kamu ikut."
Aku selalu berterima kasih padamu yang mendukung apapun mimpiku. Aku berterima kasih padamu yang memilihku padahal paras yang lebih cantik dan pribadi yang mengagumkan banyak disekelilingmu. Terima kasih, karena kamu yang selalu memujiku cantik dengan atau tanpa lipstick di bibirku. Terima kasih untuk tidak ilfeel denganku yang sudah melepehkan daging pho yang tidak berhasil tertelan. Hehehe. Terima kasih atas senyummu yang selalu terhias saat mendengarkan ceritaku. Terima kasih sudah mau mendengarkan cerita yang tidak penting sekalipun setiap harinya. Aku bersyukur ada kamu dihidupku saat itu.
Menjalin hubungan denganmu adalah privilege untukku, karena aku tidak perlu memperkenalkan diriku dari nol padamu. Meski pada akhirnya, aku bukanlah prioritasmu. Dari semua masalah yang kamu hadapi, tetap aku pilihan untuk kamu lepaskan. Pada akhirnya dari dulu sampai saat ini, aku akan tetap jadi pilihan yang kesekian, dan tidak akan pernah jadi yang pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
OneShot
Teen FictionIni adalah kumpulan cerita pendek, Tentang rasa yang berakhir harus mencintai, menyudahi, merelakan, atau mau tidak mau membenci? Kutulis, agar tidak hanya bersarang di otak saja. Semoga suka ya!❤️ OneShot, 20 Juni 2019