diskusi ringan

23 2 0
                                    

Nastiti berbaring disofa oranye ruang tengah milik keluarga Ahmadi. Setelah mandi dan berganti pakaian santai dari perjalanan jauh ia ingin merebahkan badannya sejenak, perjalanannya menyenangkan tapi tetap saja badannya butuh istirahat cukup.

"Titi" pandangannya beralih kepada sumber suara, ternyata Ahmadi sudah berdiri di belakang sofa. Nastiti langsung bangun dan berlari memeluk ayahnya erat.

"Ayaaaaah!"

"Udah pulang kamu Ti? Ayah bawa kacang sama pisang rebus nih dari tempat badminton."

Nastiti tertawa, ia hampir lupa kalau Ahmadi punya rutinitas badminton pada sabtu minggu yang pasti membawa oleh-oleh kacang rebus, pisang rebus, jagung rebus dan minuman isotonik.

"Titi mau, apalagi pisang rebusnya."

"Bawa ke teras atas Ti sebagian, sambil ngobrol yuk. Tapi ayah mandi dulu."

🤍

"Titi gimana di Solo, senang?" Achmadi sekarang sudah berada di teras atas bersama Nastiti, sambil menikmati kacang rebus yang baru dikupasnya dengan secangkir teh leci buatan Erni—istrinya.
Achmadi kurang suka kopi hitam, paling-paling hot americano jika ingin.

"Senang dong yah. Solo itu termasuk tempat yang nyaman untuk dikunjungi, benar kata orang kalau penduduk di Solo itu ramah-ramah."

Achmadi ikut senang. Dulu, Achmadi lah yang paling melarang Nastiti untuk bepergian jauh. Hal utama karena Nastiti anak perempuan dan Achmadi selalu memikirkan kenyamanan yang anaknya bisa dapatkan di luar sana. Namun sekarang ia mendukung Nastiti yang senang berkelana, asalkan ingat pulang, dan ingat berpasangan hehehe.

"Apa yang paling memorable dari Solo menurut Titi?"

"Hampir semuanya sih yah, tapi kalau boleh pilih.. 1956?"

"Apa itu?"

"Tempat kopi. Tempatnya tidak besar tapi dibuat berbinar, suasananya, orang-orangnya, historinya—oh iya 1956 itu diambil dari tahun lahir orang tuanya."

"Oh iya? Hebat juga idenya." Kata Achmadi sambil menyeruput teh lecinya. Tempat-tempat seperti yang diceritakan tadi, memang lebih cocok untuk Nastiti dibandingkan tempat yang ramai. Nastiti juga bercerita kalau disana ia banyak mengobrol dengan ownernya. Ownernya menceritakan awal mula berdirinya sampai bagaimana tempat kopi ini bisa berkembang, pengalaman dan cerita yang menarik bagi Nastiti yang suatu saat ingin punya cafe juga.

"Nastiti." Jika sudah dipanggil dengan lengkap, sepertinya obrolan akan sedikit naik tingkat, lebih serius.

"Kenapa ayah?"

"Menurut kamu, apa tujuan manusia hidup di bumi?"

benar kan. Kadang Achmadi begini, suka bertanya yang membuat kita berpikir lebih keras dari biasanya. Tapi Nastiti menikmati saja, toh bukan untuk diadili.

"Untuk beribadah kepada Tuhan kan yah?"

Achmadi tertawa, "semestinya begitu ya Ti, tapi enggak tuh."

Nastiti ikut tertawa, kenyataannya sekarang banyak yang lebih percaya akan logikanya sendiri dibandingkan dengan yang sudah jelas tertulis di ayat suci. Nastiti pun berprinsip jangan jadi terlalu pintar jika apa yang sudah ditetapkan pada agamamu bisa kau langgar sendiri karena logikamu.

"Supaya kita tahu bagaimana caranya bersyukur." Nastiti mulai masuk kedalam obrolan, kepada pertanyaan yang dilemparkan ayahnya.

"Tuhan menciptakan bumi dengan begitu indah. Pepohonan hijau, bunga warna-warni, ada pantai, gunung, bahkan manusia semuanya dibuat berbeda. Senja bisa dinikmati dengan telanjang mata, kicauan burung bisa kita dengar di pagi hari. Kita bisa tertidur lelap di kasur yang empuk, jika lapar ada yang namanya nasi, kalau uang habis bisa minta ke bank ayah—" yang langsung disambut tawa oleh Ahmadi, "—hehehe dan jangan pernah merasa bosan karena banyak yang bisa dilakukan termasuk berkegiatan berkelana explore something new!"

"Termasuk new partner juga kali Ti."

yang ditembak pernyataan seperti itu langsung mematung, meski setelahnya kekehan yg keluar dari mulut Nastiti. "Kena deh aku."

Nastiti memutar badannya kearah Ahmadi dan menatap mata Ahmadi lebih dalam, "—tenang ya ayah, aku juga ngebuka hati untuk orang baru kok. Tapi memang belum ada aja." Setelah berpisah dengan Aska dua tahun lalu, Nastiti memang belum pernah mengenalkan lagi laki-laki ke Ahmadi dan Erni. yang mendekati ada, tapi ada saja yang membuat Nastiti menolak setelah pertemuan kedua atau ketiga. Alasannya tidak mau merasakan lagi fase life after break up. Meski sebenarnya berprasangka buruk di awal itu tidak boleh ya, hanya saja menghindari patah hati untuk kesekian kali mungkin dirasa perlu.

"Kesampingkan dulu kriteriamu yang hobi naik kuda lumping dan bisa makan beling, sudah 28 loh ini."

Nastiti lantas tertawa, "ayaaah, itukan untuk nolak secara halus yang dari awal udah tanya kriteria cowok Titi seperti apa."

"Iya Ti.. ayah tuh seneng kamu berkegiatan, apalagi kalau lingkungannya bikin kamu bertumbuh. Nanti jika sudah berkeluarga, insyaAllah dapat suami yang mendukung, tetap bisa seperti itu tetapi waktunya saja berkurang."

Ditariknya satu tangan Ahmadi yang bebas, lalu ia genggam. "Yah, Titi walaupun keliatannya santai dan pergi-pergi terus tapi Titi inget, yang punya umur gak cuma Titi, tapi ayah dan ibu juga. Kalau Titi egois, Titi pasti udah milih untuk nunggu Aska sampai sekarang."

Tangan Ahmadi yg lain ikut dalam genggaman mereka, "banyak yang lebih baik dari Aska kok diluar sana. Titi jangan sampai menurunkan standar hanya untuk cepat dapat. yang penting itu tepat, karena impian semua orang Ti, pernikahan itu hanya sekali, dan harus tepat."

Aamiin.

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang