1; Pergi

9 1 1
                                    

  Alpaska, sebuah kota yang besar namun sunyi. Setiap sudut kota terukir indah berbagai lukisan tangan, itu menakjubkan.
  Sebut saja bahwa Alpaska adalah sebuah kota seni terbesar di dunia dengan seluruh penduduk nya adalah seniman jenius.

  Aneth, dengan nama panjang Aneth Daflien seorang profiler psikologi di kepolisian yang ambisius dan penuh semangat itu berencana untuk melanjutkan studi S2 nya di Uniersity of Alpaska dengan jurusan yang sama yaitu Psikologi Seni.

  Ketertarikan nya akan seni dan bagaimana jiwa manusia terlibat didalam nya membuatnya sangat berambisi untuk tahu lebih dalam bagaimana luasnya imajnasi manusia ketika bergelut dengan seni.



“Kau yakin, Aneth? Alpaska sangat jauh dari sini”. Ujar Jefry, sahabat satu divisi Aneth di kepolisian. Terdengar suaranya sedikit khawatir.

  Dengan mata yang berkaca-kaca, Aneth tersenyum simpul pada Jefry. Menyiratkan dilema yang mendalam.
  Pilihan antara sahabat dan pekerjaan yang menghidupi nya selama 5 tahun terakhir atau cita-cita nya untuk pergi ke kota seni dan melanjutkan studi nya di universitas impiannya.

Itu, pilihan yang sangat sulit bukan?

“Ini kesempatan emas untuk ku Jef, Psikologi Seni di Alpaska sangat bagus. Kau juga tahu betul bagaimana aku ingin mendalami lebih jauh hubungan antara seni dan jiwa manusia, Jef, Ayolah". Aneth menarik tangan Jefry dan menggenggam nya erat.

  Bagi Aneth, Jefry adalah sahabat terbaik dalam hidupnya. Aneth yang tidak memiliki siapa-siapa dalam hidupnya menjadikan Jefry sebagai sosok yang paling penting.

  Jefry yang selalu cerewet dan memerintah Aneth seperti sosok ibu baginya.

  Jefry yang selalu melindungi dan berbagi solusi dengan Aneth seperti sosok ayah baginya.

  Dan Jefry yang selalu jahil serta berbagi dengan Aneth seperti sosok saudara baginya.

  Jefry menghela napas nya berat. “Aku tahu. Tapi, bagaimana dengan pekerjaan mu, Aneth? Kita sudah lima tahun bersama sebagai rekan tim, siapa yang akan menggantikan mu nanti?". Pasrah Jefry bersandar pada sandaran kursi di lorong tunggu kepolisian.

  Aneth terdiam sejenak. “Istirahat tadi aku sudah berdiskusi dengan kepala divisi. Aku mengajukan cuti tidak terbatas untuk studi ku, lagipula ilmu yang ku punya akan berguna untuk pekerjaan disini. Dan soal pengganti ku, aku tahu kau akan rindu dengan partner kerjamu ini, tapi tolong mengertilah, ini mimpiku sejak lama, Jef”.

“Aku akan dan selalu mendukung mu Aneth, tapi aku terlalu takut terjadi apa-apa denganmu disana. Tidak ada yang akan menjaga mu disana, tidak ada yang melarang mu untuk berhenti minum Americano 3x sehari dan makan mie instan, tidak ada yang mengingatkan dan menarik mu paksa untuk makan makanan sehat dan minum air putih yang cukup, hah sesak rasanya”. Jefry menyentil pelan dahi Aneth dan memukul dadanya sendiri berkali-kali dengan kencang.

  Aneth menghentikan Jefry. “Ya ya ya, terima kasih banyak atas semua perhatian mu untuk ku Jef, terima kasih juga karena selalu ada untuk ku, tanpa mu mungkin aku sudah lama mati. Kau memang sahabat terbaik dalam hidupku, Jef!”. Aneth memeluk Jefry erat, dan Jefry membalasnya tidak kalah erat sembari mengusap lembut rambut Aneth.



  Beberapa hari kemudian, Aneth yang sedang mengemas barang-barangnya merasa gelisah dan tidak sabar. Di satu sisi ia sangat antusias untuk memulai petualangan baru di Alpaska. Namun di sisi lain, ia juga merasa sangat sedih harus meninggalkan sahabat dan orang-orang yang ia sayangi.

“Apakah sudah siap semua?”. Tanya Jefry di ambang pintu kamar Aneth.

  Aneth mengangguk. “Sudah, Jef. Hanya koper ini saja yang belum terisi”. Menampakkan senyum nya yang amat sangat manis.

“Entah aku harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Di satu sisi aku sangat bangga pada mu yang selalu penuh semangat dan berambisi kuat untuk mengejar cita-cita mu. Di sisi lain lagi aku sangat khawatir untuk melepas bocah ingusan ini pergi jauh, seperti seekor induk kucing yang berisik mencari anak nya ketika tak terlihat mata”. Keduanya tertawa bersama.

“Terima kasih untuk segalanya Jef, jika kau memiliki waktu libur, temui aku di Alpaska, ok?”. Membuat gestur ok👌.

“Ok”. Balas Jefry dengan gestur yang sama sembari tersenyum hangat.

“Lanjutkan lah, aku akan memanaskan mobil dulu”. Aneth mengangguk dan setelahnya Jefry beranjak dari ambang pintu kamar Aneth.



  Waktu menunjukkan pukul 05.00 PM tepat, Aneth dan Jefry bergegas menuju bandara karena 30 menit lagi Aneth akan Take Off.
 
  Sepanjang perjalanan Aneth terus dihujani nasihat bertubi-tubi oleh Jefry, ingat induk kucing yang terus mengeong ketika anaknya berlarian ke sana kemari? Seperti itulah visualisasi nya.

“Benar-benar metropolitan! Kota ini begitu ramai. Orang-orang begitu tidak sabar dan saling menyalip bahkan tanpa memikirkan bahaya karena perbuatannya”.

  Mungkin itu isi benak Aneth, bayangkan saja perjalanan menuju bandara yang seharusnya dapat ditempuh dengan waktu 15 menit menjadi 25 menit lamanya karena macet jam pulang kerja, beruntung ia tidak tertinggal pesawat.

  Saat ini Aneth sudah berada di dalam pesawat. Pikiran nya ikut terbang, menerka apa yang akan terjadi padanya di hari esok.

  Kota baru, suasana baru, kultur baru. Tidak ada laporan divisi, tidak ada data-data pelaku-korban, tidak ada Jefry.

  Aneth merasa seperti meninggalkan sebagian dirinya dan sebentar lagi ia akan mengisinya di kota baru impiannya.

  Saat pesawat mulai meluncur di landasan pacu, Aneth menutup mata dan menyatukan kedua telapak tangannya erat-erat.


  Perjalanan baru hidupnya telah dimulai.

The Black Rose; Celebration For Those Who Are Gone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang