Pagi itu, kabut tipis menyelimuti kota Alpaska. Suara pelan dari lonceng gereja tua menggema di udara, mengiringi langkah kaki Aneth yang baru saja tiba.
Ia menatap sekeliling, menghirup udara segar yang terasa berbeda dari kota sebelumnya. Kota ini terasa asing, namun entah bagaimana, ada sesuatu yang menenangkan.
Setelah serangkaian kasus yang menguras emosi dan mentalnya di kota besar, ia merasa perlu melarikan diri.
Alpaska adalah pilihan yang tepat—tenang, jauh dari hiruk-pikuk, dan menawarkan kesempatan untuk mengejar hasrat lain dalam hidupnya: Seni.
Hari ini, ia akan memulai studi S2 di jurusan Psikologi Seni di University of Alpaska. Ini adalah upayanya untuk menemukan sisi lain dari jiwanya yang mungkin selama ini terabaikan.
Pintu gerbang universitas tampak kuno, dengan bangunan bergaya arsitektur Eropa klasik. Mahasiswa baru berkumpul di halaman, membawa buku dan ransel, sebagian besar tampak antusias, meski ada juga yang tampak canggung dan bingung.
Aneth menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. Di usia ini, kembali ke bangku kuliah tentu memberi tantangan tersendiri.
"Maaf, apa kau juga mahasiswa baru?" Suara riang seorang gadis memecah lamunannya.
Aneth menoleh dan mendapati seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang dan senyum ceria berdiri di sebelahnya.
Dia mengenakan sweater oversized dan celana jeans robek, gaya yang membuatnya tampak santai namun penuh percaya diri.
"Iya, aku mahasiswa baru," jawab Aneth sambil tersenyum tipis. "Aku Aneth".
"Starla," balas gadis itu cepat, mengulurkan tangannya.
"Apa kau Jurusan Psikologi Seni juga?"
Aneth mengangguk, sedikit terkejut dengan kebetulan ini. "Iya, kita sejurusan rupanya".
"Wah, seru! Akhirnya ada teman," kata Starla dengan nada riang. "Aku sempat khawatir tidak mendapat kenalan di sini. Apalagi di kota kecil seperti ini, kan? Aku pikir hanya ada kucing liar dan pohon di mana-mana".
Aneth tertawa pelan. "Iya, aku pun pendatang baru. Rasanya agak sepi, ya?"
"Benar! Tapi, menurutku ini semacam pelarian dari dunia luar. Kau tahu, semacam detoks dari kehidupan yang terlalu ramai," kata Starla sembari menatap langit yang mulai cerah. "Jadi, mengapa kau pindah ke sini?"
Aneth terdiam sesaat. Ia selalu berhati-hati soal hidup pribadinya, terutama bagian yang melibatkan pekerjaan lamanya sebagai profiler. "Butuh suasana baru. Aku merasa jenuh dengan kehidupan kota besar".
Starla mengangguk, tampak mengerti tanpa bertanya lebih jauh. "Aku setuju. Di sini, kita bisa memulai dari awal lagi. Tidak ada orang yang tahu masa lalu kita".
Kata-kata Starla membuat Aneth sedikit tergelitik. Benar, tak ada yang tahu siapa dia, dan mungkin itu lebih baik. Alpaska adalah kesempatan untuk hidup tanpa beban masa lalu, untuk menemukan sesuatu yang baru di dunia yang lebih sunyi dan tenang.
Setelah sesi orientasi selesai, mereka berdua memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Sepanjang jalan, Starla tak henti-hentinya bercerita tentang kecintaannya pada seni dan bagaimana dia ingin mengeksplorasi pengaruh seni terhadap emosi manusia. Aneth mendengarkan dengan perhatian, merasa bahwa percakapan dengan Starla adalah awal dari persahabatan yang baru.
Namun, di balik semua percakapan ringan itu, pikiran Aneth masih terus berkutat pada satu hal.
Apakah ia bisa benar-benar melarikan diri dari masa lalunya?
Kasus—Itu, kasus yang pernah ia tangani itu masih sering terlintas di pikirannya, meski ia berusaha keras untuk melupakannya."Aneth?" suara Starla memecah lamunannya lagi. "Aku tak tahu kenapa, tapi sepertinya aku merasa kita akan menjadi teman baik. Kau punya energi yang berbeda. Entah bagaimana, kau terlihat... dalam".
Aneth tersenyum kecil. "Mungkin karena aku suka menganalisis orang".
Starla tertawa. "Baiklah, mungkin aku harus lebih hati-hati bicara di dekatmu".
Dalam hati, Aneth berharap bahwa di kota kecil ini, ia bisa menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya. Bukan hanya tentang seni, tapi juga kedamaian yang selama ini tak pernah ia rasakan.
Alpaska, dengan segala ketenangannya, akan menjadi tempat di mana Aneth memulai kembali. Tapi ia tahu, masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Ada sesuatu yang menunggu, mungkin sebuah teka-teki baru yang akan membuka kembali sisi kelam yang ia coba kubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Rose; Celebration For Those Who Are Gone
Mystery / ThrillerDalam bayang-bayang kota yang ramai, seorang pembunuh berantai beraksi. Korbannya bukan hanya sekadar angka, melainkan kanvas bagi obsesinya yang mengerikan. Polisi kebingungan, sementara seorang profiler psikologis berusaha menyelami pikiran sang...