BAB 02

265 52 3
                                    

Setelah mengatakan itu, Shanendra pergi meninggalkan area balapan hingga menyisakan Argito dan Cornelia. Argito bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana badan Cornelia yang bergetar diiringi suara tangis yang terdengar menyakitkan dan air mata yang dengan berani membasahi wajah ayunya.

Argito yang tidak tahu harus bagaimana memilih menarik Cornelia masuk ke dalam pelukannya. Usapan lembut di punggung Cornelia juga Argito lakukan, siapa tahu Cornelia bisa lebih tenang.

Cornelia tetap terisak di pelukan Argito, tubuhnya berguncang dengan setiap tarikan napas yang berat. Argito hanya bisa memeluknya erat, merasakan kepedihan yang meresap dalam setiap kata yang diucapkan Cornelia. Perasaan bersalah yang mendalam menyelimuti hati Argito. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan ini terjadi?

"Gue gak mau putus, Shan" gumam Cornelia, suaranya pecah di antara isak tangis.

"Tolong bawa Shanendra kembali. Gue gak bisa tanpa dia. Gue sayang sama Shanendra" lanjutnya sambil memukul-mukul pundak Argito dengan lemah.

Argito merasakan setiap pukulan itu, bukan hanya di tubuhnya, tapi juga di hatinya. Taruhan ini, yang awalnya hanya sebuah permainan, telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih serius dan menyakitkan. Tapi di dunia balapan jalanan, aturan adalah aturan dan taruhan adalah taruhan. 

"Maafin gue. Seharusnya gue gak menangin balapan ini. Maaf karena gue lo harus putus dari Shanendra" ucap Argito dengan suara pelan, penuh penyesalan.

Cornelia mengangkat kepalanya, menatap Argito dengan mata yang basah oleh air mata. "Gue gak peduli sama taruhan bodoh itu. Gue cuma mau Shanendra. Gue gak mau kehilangan dia"

Argito hanya bisa terdiam, membiarkan Cornelia meluapkan segala kesedihannya. Dia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki situasi ini. Ia hanya bisa mendengarkan, menjadi tempat Cornelia menumpahkan air mata dan kepedihannya.

"Gue antar lo pulang, ya" ucap Argito usai Cornelia berhenti menangis. Cornelia menggeleng, menolak Argito.

"Lo gak lihat ini udah malam? Kalau lo kenapa-napa di jalan gimana?" tanya Argito sedikit meninggikan suaranya.

 "Bukan urusan lo juga kan?"

Argito menyerah, membalas pertanyaan Cornelia yang ada hanya akan berakhir dengan berdebat. Argito masuk ke dalam mobil, tidak mempedulikan Cornelia yang masih berdiri diam di tempat.

Cornelia panik saat melihat mobil Argito perlahan menjauh. Ia segera merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi ojek online dan mulai mencari pengemudi. Namun, malam yang sudah larut membuat hanya sedikit pengemudi yang tersedia di area tersebut.

Cornelia menunggu dengan cemas, melihat layar ponselnya yang terus-menerus memperbarui. Tidak ada pengemudi yang menerima pesanannya. Kekecewaan dan keputusasaan mulai menyelimuti hatinya. Ia mencoba lagi, kali ini dengan aplikasi lain, tetapi hasilnya tetap sama.

Angin malam yang dingin semakin menusuk kulitnya, dan Cornelia merasakan kesepian yang mendalam di tengah keramaian kota yang seakan tak peduli. Ia merasa terjebak, baik secara fisik maupun emosional. Ia tahu harus segera pulang, tetapi bagaimana caranya?

Sementara itu, di dalam mobilnya, Argito melihat ke belakang melalui spion. Hatinya berdebar saat melihat Cornelia masih berdiri di tempat yang sama. Rasa bersalah semakin menguat dalam dirinya. Ia tidak bisa membiarkan Cornelia sendirian seperti itu. Dengan menghela napas panjang, ia memutar balik mobilnya dan kembali ke tempat Cornelia berdiri.

Saat Cornelia melihat mobil Argito kembali, ada perasaan campur aduk dalam dirinya. Marah, bingung, tetapi juga lega. Argito menghentikan mobilnya di depan Cornelia dan menurunkan kaca jendela.

TaruhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang