BAB 06

229 43 3
                                    

Keesokan paginya, Cornelia terbangun dengan kepala yang terasa berat dan pandangan yang kabur. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Perlahan, aroma harum masakan dari dapur menyusup ke hidungnya. Cornelia berpikir apakah orang tuanya sudah pulang dan sedang memasak.

Cornelia bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan pelan menuju dapur. Saat tiba di sana, ia melihat sosok laki-laki berdiri membelakanginya, tengah mengaduk sesuatu di wajan. Dengan perasaan penasaran, Cornelia mendekat. Laki-laki itu mendengar langkah kaki Cornelia dan berbalik badan.

"Argito?" Cornelia terkejut melihat cowok tersebut berdiri di dapurnya, mengenakan celemek dan tengah memasak.

Argito tersenyum lembut. "Pagi, Niel. Gimana keadaan lo? Masih pusing?"

Cornelia mengangguk pelan. "Tapi, gue udah mendingan kok. Lo ngapain di sini?"

"Orang tua lo ada rapat penting pagi ini, mereka gak mau ganggu tidur lo. Gue juga gak tenang ninggalin lo sendirian, jadi gue di sini buat pastiin lo baik-baik aja" jawab Argito sambil mematikan kompor dan menaruh wajan di meja.

"Makasih, Ar. Lo gak perlu repot-repot kayak gini, gue baik-baik aja" ucap Cornelia yang merasa tersentuh dengan perhatian Argito.

"Gue gak bisa ninggalin lo sendirian setelah kejadian semalam, Niel. Gue pengen pastiin lo aman"

Cornelia terdiam sejenak, mencoba mengingat lebih jelas apa yang terjadi semalam. "Emang semalem gue kenapa? Gue gak ingat banyak kejadian semalam. Gue cuma ingat Shanendra maksa gue minum, terus semuanya blur"

Argito menghela napas, lalu berjalan mendekat dan memegang tangan Cornelia dengan lembut. "Gue nemuin lo di pinggir jalan, lo gak sadar dan terus meracau. Gue khawatir banget, Niel"

Cornelia menatap mata Argito, merasakan kehangatan dan ketulusan dari laki-laki di depannya itu. "Lo selalu ada buat gue, Ar. Gue gak tahu apa yang bakal gue lakuin tanpa lo"

Argito tersenyum tipis. "Gue juga gak bisa liat lo dalam bahaya. Kita teman dan gue bakal selalu ada buat lo"

Mereka berdua duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sudah disiapkan Argito. Cornelia merasa lebih tenang dengan keberadaan Argito di sisinya. Meskipun kejadian semalam masih menghantuinya.

"Lo kenapa masih mau aja ketemu sama Shanendra sih? Lo gak ingat dia udah nyakitin lo?" tanya Argito setelah mereka selesai makan.

Cornelia menunduk, menatap piringnya yang sudah kosong. Ia memikirkan pertanyaan Argito, merasa berat untuk menjawab. "Gue... gue masih pengen percaya bahwa mungkin dia bisa berubah. Mungkin dia masih bisa jadi orang yang gue kenal dulu, yang baik dan perhatian"

Argito menghela napas, jelas terlihat bahwa ia merasa khawatir. "Niel, gue ngerti kalo lo pengen ngasih kesempatan, tapi lo harus ingat juga tentang diri lo sendiri. Dia udah ngebuat lo sakit, dan lo gak harus terus-terusan jadi korban"

Cornelia mengangguk, menahan air mata yang hampir tumpah. "Gue tahu, Ar. Kadang-kadang gue merasa terjebak dalam harapan-harapan yang mungkin gak realistis. Tapi setiap kali gue lihat dia, gue merasa ada sedikit harapan yang tersisa"

Argito menatap Cornelia dengan penuh perhatian. "Gue paham. Tapi lo harus ingat juga, lo berhak merasa aman dan bahagia. Gue di sini buat ngebantu lo ingat itu"

Cornelia tersenyum lemah, merasa terhibur oleh dukungan Argito. "Makasih, Ar. Gue tahu gue bisa ngandelin lo. Meskipun sekarang gue masih bingung, setidaknya gue tahu gue gak sendirian"

"Gue bakal selalu ada buat lo" kata Argito sambil meraih tangan Cornelia dan menggenggamnya dengan lembut. "Kalau lo butuh waktu untuk sembuh atau kalau lo butuh seseorang untuk diajak ngobrol, gue akan selalu ada"

TaruhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang